Blogger Widgets

music

Kamis, 26 Desember 2019

MAQAMAT DAN AHWAL

MAQAMAT DAN AHWAL

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Tasawuf
Dosen pengampu Dra. Robingatun, M. Pd. I


Di susun oleh:
Helma Naimul Fadzilah (933402012)
Binti rahayu                  (933400413)
Nadia Nufida Aflaha     (933400613)

JURUSAN USHULUDDIN PROGRAM PSIKOLOGI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
KEDIRI
2016



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Balakang Masalah
Tasawuf merupakan salah satu fenomena dalam Islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya menimbulkan akhlak mulia. Melalui tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan pembersihan diri serta mengamalkan secara benar. Banyak pengertian tasawuf yang dirumuskan oleh ulama tasawuf, tetapi tidak mencakup pengertian tasawuf secara menyeluruh. Defenisi tasawuf yang dirumuskan oleh ulama tasawuf, tetapi tidak mencakup pengertian tasawuf secara menyeluruh.
Tinjauan analitis terhadap tasawuf menunjukkan bahwa para sufi dengan berbagai aliran yang dianutnya memiliki suatu konsepsi tentang jalan (thariqat) menuju Allah. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniah (riyadah), lalu secara bertahap menempuh berbagai fase, yang dikenal dengan maqam (tingkatan) dan hal (keadaan), dan berakhir dengan mengenal (ma’rifat) kepada Allah. Tingkat pengenalan (ma’rifat) menjadi jargon yang umumnya banyak dikejar oleh para sufi. Kerangka sikap dan perilaku sufi diwujudkan melalui amalan dan metode tertentu yang disebut thariqat, atau jalan untuk menemukan pengenalan (ma’rifat) Allah. Lingkup perjalanan menuju Allah untuk memperoleh pengenalan (ma’rifat) yang berlaku di kalangan sufi sering disebut sebagai sebuah kerangka ‘Irfani.
Perjalanan menuju Allah merupakan metode pengenalan (ma’rifat) secara rasa (rohaniah) yang benar terhadap Allah. Manusia tidak akan tidak akan tahu banyak mengenai penciptanya apabila belum melakukan perjalanan menuju Allah walaupun ia adalah orang yang beriman secara aqliyah. Hal ini karena adanya perbedaan yang dalam antara iman secara aqliyah  atau logis-teoritis (Al-Iman Al-aqli An-nazhari) dan iman secara rasa (al-iman Asy-syu’uri Ad-dzauqi).
Lingkup ‘Irfani tidak dapat dicapai dengan mudah atau secara spontanitas, tetapi melalui proses yang panjang. Proses yang dimaksud adalah maqam-maqam (tingkatan atau stasiun) dan ahwal (jama’ dari hal). Dua persoalan ini harus dilewati oleh orang yang berjalan menuju Tuhan.
Namun perlu dicatat, maqam dan hal tidak dapat dipisahkan. Keduanya ibarat dua sisi dalam satu mata uang. Keterkaitan antar keduanya dapat dilihat dalam kenyataan bahwa maqam menjadi prasyarat menuju Tuhan dan dalam maqam akan ditemukan kehadiran hal. Hal yang telah ditemukan dalam maqam akan mengantarkan seseorang untuk mendaki maqam-maqam selanjutnya. Untuk itu penulis akan membahas tentang maqam dan ahwal dalam tasawuf.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan maqamat dan macam-macamnya dalam tasawuf ?
2.      Apa yang dimaksud dengan ahwal dan macam-macamnya dalam tasawuf?
C.     Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui penjelasan dari maqamat dan macam-macamnya dalam tasawuf.
2.      Untuk mngetahui penjelasan dari ahwal dan macam-macamnya dalam tasawuf.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Maqamat
Secara harfiah, maqamat merupakan jamak dari kata maqam yang berarti tempat berpijak atau pangkat mulia. Dalam Bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga. Sedangkan dalam ilmu Tasawuf, maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui riyadhah, ibadah, maupun mujahadah. Di samping itu, maqamat berarti jalan panjang atau fase-fase yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah. Maqam dilalui seorang hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh dalam melakukan sejumlah kewajiban yang harus ditempuh dalam jangka waktu tertentu. Seorang hamba tidak akan mencapai maqam berikutnya sebelum menyempurnakan maqam sebelumnya.[1]
Tentang berapa jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai menuju Tuhan, di kalangan para sufi tidak sama pendapatnya. Muhammad al-Kalabazy dalam kitabnya al-Ta’arruf li Mazhab ahl al-Tasawwuf, sebagai dikutip Harun Nasution misalnya mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya ada sepuluh, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-faqr, al-tawadlu’, al-taqwa, al-tawakkal, al-ridla, al-mahabbah dan al-ma’rifah.
Sementara itu Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah maqamat hanya tujuh, yaitu al-taubah, al-wara’, al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal dan al-ridla.
Dalam pada itu Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Din mengatakan bahwa maqamat itu ada delapan, yaitu al-taubah, al-shabr, al-zuhud, al-tawakkal, al-mahabbah, al-ma’rifah, dan al-ridla.
Kutipan tersebut memperlihatkan keadaan variasi penyebutan maqamat yang berbeda-beda, namun ada maqamat yang oleh mereka disepakati, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal dan al-ridla. Sedangkan al-tawaddlu, al-mahabbah, dan al-ma’rifah oleh mereka tidak disepakati sebagai maqamat. Terhadap tiga istilah yang disebut terakhir itu (al-tawaddlu, al-mahabbah dan al-ma’rifah) terkadang para ahli tasawuf menyebutnya sebagai maqamat, dan terkadang menyebutnya sebagai hal dan ittihad (tercapainya kesatuan wujud rohaniah dengan Tuhan). Untuk itu dalam uraian ini, maqamat yang akan dijelaskan lebih lanjut adalah maqamat yang disepakati oleh mereka, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara’, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal, dan al-ridla. Penjelasan atas masing-masing istilah tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:[2]
1.      Taubat
Taubat berasal dari Bahasa Arab taba-yatubu-taubatan yang berarti “kembali” dan “penyelesalan”. Sedangkan pengertian taubat bagi kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa yang disertai dengan penyesalan dan berjanji dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut dan dibarengi dengan melakukan kebajikan yang dianjurkan oleh Allah.
Taubat menurut Dzun Nun al-Misri dibedakan menjadi tiga tingkatan: (1) orang yang bertaubat dari dosa dan keburukan, (2) orang yang bertaubat dari kelalaian mengingat Allah dan (3) orang yang bertaubat karena memandang kebaikan dan ketaatannya.[3]  Dari ketiga tingkatan taubat tersebut, yang dimaksud sebagai maqam dalam tasawuf adalah upaya taubat, karena merasakan kenikmatan batin.
Bagi orang awam, taubat dilakukan dengan membaca astagfirullah wa atubu ilaihi. Sedangkan bagi orang khawash taubat dilakukan dengan riyadhah dan mujahadah dalam rangka membuka hijab yang membatasi dirinya dengan Allah swt. Taubat ini dilakukan para sufi hingga mampu menggapai maqam yang lebih tinggi.
Lain halnya dengan Ibnu Taimiyah. Ia membedakan taubat menjadi dua: taubat wajib dan taubat sunnah. Taubat wajib adalah taubat karena menyesali perbuatan meninggalkan perkara-perkara wajib, atau menyesal karena melakukan perkara-perkara haram. Sedangkan taubat sunnah adalah taubat karena menyesali perbuatan meninggalkan perkara-perkara sunnah, atau karena menyesali perbuatan melakukan perkara-perkara makruh. Berkaitan dengan dua macam taubat ini, Ibnu Taimiyah menjelaskan tingkatan/derajat orang yang bertaubat menjadi dua. Pertama, al-abrar al-muqtashidun (orang-orang yang berbakti lagi pertengahan), yaitu orang-orang yang melakukan jenis taubat yang pertama, yaitu taubat wajib. Kedua, as-sabiqun al-awwalun. Mereka adalah orang yang melakukan jenis taubat wajib dan taubat sunnah.[4]
Berkaitan dengan maqam taubat, dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang menjelaskan masalah ini, di antaranya adalah ayat yang berbunyi:
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَو ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوْا اللَّه فَاسْتَغْفَرُوْا لِذُنُوْبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلَّا للَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَي مَا فَعَلُوا وَهُمْ ىَعْلَمُونَ (135: ن ا م ع ل ا)
Artinya: Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.(Ali Imron: 135).
وَتُوْبُوا إِلَي اللَّهِ جَمِيْعًا أَيُّهَا الْمٌؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ (31: النّور)
Artinya: ...dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.(An-Nur: 31)[5]
2.      Zuhud
Secara etimologis, zuhud berarti ragaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zuhada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.[6]
Menurut pandangan orang-orang sufi, dunia dan segala kemewahan, serta kelezatannya adalah sumber kemaksiatan dan penyebab terjadinya perbuatan-perbuatan dosa. Oleh karena itu, seorang pemula atau calon sufi harus terlebih dahulu menjadi zahid. Sikap zuhd ini erat hubungannya dengan taubah, sebab taubah tidak akan berhasil apabila hati dan keinginannya masih terkait kepada kesenangan duniawi.
Imam al-Qusyairi mengatakan, “zuhd ialah tidak merasa bangga dengan kemewahan dunia yang telah ada di tangannya dan tidak merasa bersedih dengan hilangnya kemewahan tadi dari tangannya. [7]
Berkaitan dengan konsep zuhud, dalam al-Qur’an terdapat ayat yang menjelaskan hal itu, di antaranya:
قُلْ  مَتٰعُ الدُّنْيَا قَلِيْلٌ وَالْ ءَاخِرَةُ خَيْرٌ لِّمَنِ اتَّقَىٰ وَلَا تُظْلَمُونَ فَتِيْلًا (77: النّساء)
Artinya: Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.  
وَمَا الْحيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ ۖ  وَلَلدَّارُ الآخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِيْنَ يَتَّقُون ۗ أَفَلَا تَعْقِلُونَ (32: الأنعام)
Artinya: Dan Tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?(Al-An’am: 32).
Ayat-ayat di atas secara singkat menjelaskan bahwa kehidupan dunia yang kita rasakan hanyalah sesaat dan suatu saat akan lenyap dan musnah dalam seketika, dibandingkan dengan kehidupan akhirat yaitu kehidupan yang ditempuh sesudah kita mati merupakan alam yang kekal dan abadi dan merupakan kehidupan yang lebih baik daripada kehidupan dunia.
Zuhud berdasarkan maksudnya dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, zuhud menjauhkan dunia agar terhindar dari hukuman akhirat. Kedua, zuhud menjauhi dunia dengan mengharap imbalan di akhirat. Ketiga, zuhud meninggalkan kesenangan dunia bukan karena berharap atau takut, akan tetapi karena kecintaan terhadap Allah semata. Pada tingkatan ketiga inilah yang mampu membukakan tabir antara seorang hamba dan Allah.[8]
Selain ketiga zuhud tersebut, al-Ghazali juga mengklasifikasikan zuhud menjadi beberapa tingkatan, yaitu:
·         Zuhud yang dikaitkan dengan jiwa orang yang berzuhud. Tingkatan ini dibedakan kembali menjadi tiga bagian berdasarkan kuat lemahnya zuhud, yaitu:
1.      As-sufla, yaitu derajat zuhud yang paling rendah, dimana orang meninggalkan kemewahan dunia tetapi sebenarnya hatinya masih cenderung dan menginginkannya.
2.      Derajat zuhud orang yang meninggalkan kemewahan dunia secara sukarela, karena ia melihat dunia sebagai kehinaan.
3.      A-‘Ulya, yaitu derajat yang paling tinggi. Maksudnya, di sini adalah menjauhi kemewahan dunia secara sukarela, karena ia melihat dunia tidak mempunyai nilai apa-apa dan tidak sepadan dengan sesuatu apapun.
·         Zuhud yang dikaitkan dengan sesuatu yang dicintai. Zuhud ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1.      Zuhudnya orang takut, dimana seorang hamba melakukan zuhud dikarenakan takut akan siksa neraka, azab kubur dan lain-lain.
2.      Zuhud orang yang mengharapkan pahala, nikmat Allah dan kelezatan yang telah dijanjikan di dalam surga.
3.      Derajat yang tertinggi, yaitu zuhudnya para arif di mana zuhud mereka bukan dikarenakan suatu apapun selain Allah, tetapi hanya ingin berjumpa dengan Allah.
·         Zuhud yang dikaitkan dengan sesuatu yang harus ditinggalkan. Tingkatan ini dibagi menjadi:
1.      Meninggalkan sesuatu selain Allah.
2.      Meninggalkan segala sesuatu yang dikarenakan nafsu, seperti marah, sombong, pangkat, harta, dan lain-lain.
3.      Sabar
Sabar, secara harfiah, berarti tabah hati. Secara terminologi, sabar adalah suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan konsekuen dalam pendirian. Sedangkan menurut pandangan Dzun Nun al-Misri, sabar berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetap tenang ketika mendapat cobaan dan menampakkan sikap cukup, walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran. Berdasarkan pengertian di atas, maka sabar erat hubungannya dengan pengendalian diri, pengendalian sikap dan pengendalian emosi. Oleh sebab itu, sikap sabar tidak bisa terwujud begitu saja, akan tetapi harus melalui latihan yang sungguh-sungguh.[9]
Sabar, menurut Al-Ghazali, jika dipandang sebagai pengekangan tuntutan nafsu dan amarah, dinamakan sebagai kesabaran jiwa (ash-shabr an-nafs), sedangkan menahan terhadap penyakit fisik, disebut sebagai sabar badani (ash-shabr al-badani). Kesabaran jiwa sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek. Misalnya, untuk menahan nafsu makan dan seks yang berlebihan.[10]
4.      Wara’
Wara’ secara harfiah berarti saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa atau maksiat. Sedangkan pengertian wara’ dalam pandangan sufi adalah meninggalkan segala sesuatu dari yang didalamnya mengandung keragu-raguan dalam hukumnya, baik yang menyangkut makanan, pakaian, maupun persoalan lainnya.[11] Menurut Qamar Kailani yang dikutip oleh Rivay A. Siregar, wara’ dibagi menjadi dua: wara’ lahiriyah dan wara’ batiniyah. Wara’ lahiriyah adalah tidak mempergunakan segala yang masih diragukan dan meninggalkan kemewahan, sedangkan wara’ batiniyah adalah tidak menempatkan atau mengisi hati kecuali dengan mengingat Allah. Dalam kitab Al-Luma’ dijelaskan bahwa orang-orang wara’ dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, wara’ orang yang menjauhkan diri dari syubhat. Kedua, wara’ orang yang menjauhkan diri dari sesuatu yang menjadi keraguan hati dan ganjalan di dada. Ketiga, wara’ orang arif yang sanggup menghayati dengan hati nurani.[12]
5.      Fakir
Secara harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta sungguhpun tak ada pada diri kita, kalau diberi diterima. Tidak meminta tetapi tidak menolak.[13]
6.      Tawakkal
Secara harfiah tawakkal berarti menyerahkan diri. Menurut Sahal bin Abdullah bahwa awalnya tawakkal adalah apabila seorang hamba di hadapan Allah seperti bangkai di hadapan orang yang memandikannya, ia mengikuti semaunya yang memandikan, tidak dapat bergerak dan bertindak. Hamdun al-Qashshar mengatakan tawakkal adalah berpegang teguh pada Allah.
Harun Nasution mengatakan tawakkal adalah menyerahkan diri kepada qada dan keputusan Allah. Selamanya dalam keadaan tenteram, jika mendapat pemberian berterima kasih, jika mendapat apa-apa bersikap sabar dan menyerah kepada qada dan qadar Tuhan. Tidak memikirkan hari esok, cukup dengan apa yang ada untuk hari ini. Tidak mau makan, jika ada orang lain yang lebih berhajat pada makanan tersebut daripada dirinya. Percaya kepada janji Allah. Menyerah kepada Allah dengan Allah dan karena Allah.
Seseorang yang berada pada maqam tawakkal akan merasakan ketenangan dan ketentraman. Ia senantiasa merasa mantap dan optimis dalam bertindak. Disamping itu dia juga akan mendapatkan kekuatan spiritual, serta keperkasaan luar biasa yang dapat mengalahkan segala kekuatan yang bersifat material.
7.      Ridha
Ridha, secara harfiah, berarti rela, senang dan suka. Sedangkan pengertiannya secara umum adalah tidak menentang qadha dan qadar Allah, menerima qadha dan qadar dengan hati senang.[14] Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanya perasaan senang dan gembira. Merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang menerima nikmat. Tidak meminta surga dari Allah dan tidak meminta dijauhkan dari neraka. Sikap ridha ini merupakan kelanjutan rasa cinta atau perpaduan dari mahabbah dan sabar. Rasa cinta yang diperkuat dengan ketabahan akan menimbulkan kelapangan hati dan kesediaan yang tulus untuk berkorban dan berbuat apa saja yang diperintahkan oleh Allah Swt.
Menurut Abdullah bin Khafif, ridha dibagi menjadi dua macam: ridha dengan Allah dan ridha terhadap apa yang datang dari Allah. Ridha dengan Allah berarti bahwa seorang hamba rela terhadap Allah sebagai pengatur jagad raya seisinya, sedangkan ridha terhadap apa yang datang dari Allah yaitu rela terhadap apa saja yang telah menjadi ketetapan Allah Swt.
B.     Ahwal
Secara bahasa, ahwal merupakan jamak dari kata tunggal hal yang berarti keadaan sesuatu yang sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan (keadaan rohani).  Menurut Syeikh Abu Nashr as-Sarraj, hal adalah sesuatu yang terjadi secara mendadak yang bertempat pada hati nurani dan tidak mampu bertahan lama, sedangkan menurut al-Ghazali, hal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata. Sehubungan dengan ini, Harun Nasution mendefinisikan hal sebagai keadaan mental, seperti perasaan senang, persaan sedih, perasaan takut, dan sebagainya.
Jika berpijak dari beberapa pendapat para sufi di atas, maka tidak ada perbedaan, yang pada intinya, hal adalah keadaan rohani seorang hamba ketika hatinya telah bersih dan suci. Hal berlainan dengan maqam, hal tidak menentu datangnya, terkadang datang dan perginya berlangsung cepat, yang disebut lawaih dan ada pula yang datang dan perginya dalam waktu yang lama, yang disebut bawadih. Jika maqam diperoleh melalui usaha, akan tetapi hal bukan diperoleh melalui usaha, akan tetapi anugerah dan rahmat dari Tuhan. Maqam sifatnya permanen, sedangkan hal sifatnya temporer sesuai tingkatan maqamnya.  Sebagaimana halnya dengan maqamat, dalam penentuan hal juga terdapat perbedaan pendapat di kalangan sufi. Adapun al- hal yang paling banyak disepakati adalah al-muraqabah, al-khauf, ar-raja’, ath-thuma’ninah, al-musyahadah, dan al-yaqin.  Penjelasan tentang ahwal tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Muhasabah dan Muraqabah
Waspada dan mawas diri (muhasabah dan muraqabah) merupakan dua hal yang saling berkaitan erat. Oleh karena itu, ada sufi yang mengupasnya secara bersamaan. Waspada dan mawas diri merupakan dua sisi dari tugas yang sama dalam rangka menundukan perasaan jasmani yang berupa kombinasi dari pembawaan nafsu dan amarah.
Musahabah dapat diartikan meyakini bahwa Allah mengetahui segaal pikiran, perbuatan, dan rahasia dalam hati, yang membuat seseorang menjadi hormat, takut, dan tunduk kepada Allah. Muraqabah artinya merasa selalu diawasi oleh Allah SWT sehingga dengan kesadaran ini mendorong manusia senantiasa rajin melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Sesungguhnya manusia hakikinya selalu berhasrat dan ingin kepada kebaikan dan menjunjung nilai kejujuran dan keadilan, meskipun tidak ada orang yang melihatnya.
Kehati-hatian (mawas diri) adalah kesadaran. Kesadaran ini makin terpelihara dalam diri seseorang hamba jika meyakini bahwa Allah SWT senantiasa melihat dirinya.
Syeikh Ahmad bin Muhammad Ibnu Al Husain Al Jurairy mengatakan, “Jalan kesuksesan itu dibangun di atas dua bagian. Pertama, hendaknya engkau memaksa jiwamu muraqabah (merasa diawasi) oleh Allah SWT. Kedua, hendaknya ilmu yang engkau miliki tampak di dalam perilaku lahiriahmu sehari-hari”.
2.      Khauf
Khauf adalah suatu sikap mental yang merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdianya. Takut dan kawatir kalau Allah tidak senang kepadanya. Menurut Ghozali Khauf adalah rasa sakit dalam hati karena khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak disenagi dimasa sekarang.
Menurut al Ghozali Khauf terdiri dari tiga tingkatan atau tiga derajat, diantaranya adalah:
a.       Tingkatan Qashir (pendek), Yaitu khauf seperti kelembutan perasaan yang dimiliki wanita, perasaan ini seringkali dirasakan tatkala mendengarkan ayat-ayat Allah dibaca.
b.      Tingkatan Mufrith (yang berlebihan), yaitu khauf yang sangat kuat dan melewati batas kewajaran dan menyebabkan kelemahan dan putus asa, khauf tingkat ini menyebabkan hilangya kendali akal dan bahkan kematian, khauf ini dicela karena karena membuat manusia tidak bisa beramal.
c.       Tingkatan Mu’tadil (sedang), yaitu tingkatan yang sangat terpuji, ia berada pada khauf qashir dan mufrith.
Rasulullah SAW bersabda: "Apabila tubuh hamba menggigil karena takut kepada Allah SWT, dosa-dosanya berguguran seperti daun-daun yang berguguran dari pohon".
Abû al-Layts r.a. berkata, "Allah memiliki para malaikat di langit ketujuh. Mereka bersujud sejak Allah menciptakan mereka hingga hari kiamat. Mereka menggigil ketakutan karena takut kepada Allah SWT Apabila hari kiamat tiba, mereka mengangkat kepala dan berkata, Mahasuci Engkau, kami menyembah-Mu dengan penyembahan yang sebenar-benarnya".
Itulah firman Allah SWT: Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (QS. an-Nahl [16]: 50). Yakni, mereka tidak berbuat maksiat kepada Allah sekejap mata pun.
Rasulullah SAW bersabda, "Apabila tubuh hamba menggigil karena takut kepada Allah SWT, dosa-dosanya berguguran seperti daun-daun yang berguguran dari pohon." Dikisahkan bahwa seorang laki-laki tertambat hatinya kepada seorang perempuan. Perempuan itu keluar untuk suatu keperluan. Laki-laki itu ikut pergi bersamanya. Ketika mereka berduaan di padang sahara, sementara orang lain sudah tertidur, laki-laki itu mengungkapkan isi hatinya kepada perempuan tersebut: Perempuan itu berkata,"Lihatlah, semua orang sudah tertidur.” Laki-laki itu senang mendengar kata-kata itu.
Dia mengira bahwa perempuan itu telah memberikan jawaban kepadanya. Lalu, dia berdiri dan mengelilingi kafilah. Dia mendapati orang-orang sudah tertidur. Lalu, dia kembali kepada perempuan itu dan berkata, "Benar, mereka telah tidur." Namun, perempuan itu bertanya, "Apa pendapatmu tentang Allah, apakah Dia tidur pada saat ini?" Laki-laki itu menjawab, "Allah SWT tidak tidur. Dia tidak pernah terserang kantuk dan tidur". Perempuan itu berkata, "Zat yang tidak tidur dan tidak akan tidur selalu melihat kita walaupun orang lain tidak melihat kita. Karena itu, Allah lebih pantas untuk ditakuti." Akhirnya, laki-laki itu pun meninggalkan perempuan tadi karena takut kepada Sang Pencipta. Dia bertobat dan kembali ke kampung halamannya. Ketika dia meninggal, orang-orang bemimpi melihatnya. Ditanyakan kepadanya, "Apa tindakan Allah kepadamu?" Dia menjawab, "Dia mengampuniku karena ketakutanku itu. Dengan demikian, terhapuslah dosa tersebut."
3.      Raja’
Raja’ dapat berarti berharap atau optimisme, yaitu perasaan senang hati karena menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Raja’ atau optimisme ini telah ditegaskan dalam al-Qur’an:
إِنَّ الَّذِيْنَ آمَنُوا والَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولٰئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (218: البقرة)
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(Al-Baqarah: 218).
Orang yang harapan dan penantiannya mendorongnya untuk berbuat ketaatan dan mencegahnya dari kemaksiatan, berarti harapannya benar. Sebaliknya, jika harapannya hanya angan-angan, semenatara ia sendiri tenggelam dalam lembah kemaksiatan, harapannya sia-sia.
Raja’ menurut tiga perkara, yaitu:
a.    Cinta kepada apa yang diharapkannya.
b.   Takut bila harapannya hilang.
c.    Berusaha untuk mencapainya.
Raja’ yang tidak dibarengi dengan tiga perkara itu hanyalah ilusi atau hayalan. Setiap orang yang berharap adalah juga orang yang takut (khauf). Orang yang berharap untuk sampai di suatu tempat tepat waktunya, tentu ia takut terlambat. Dan karena takut terlambat, ia mempercepat jalannya. Begitu pula orang yang mengharap rida atau ampunan Tuhan, diiringi pula dengan rasa takut akan siksaan Tuhan.
4.      Thuma’ninah
Thuma’ninah adalah rasa tenang, tidak ada rasa was-was atau khawatir, tak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran, karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Seseorang yang telah mencapai tingkatan thuma’ninah, ia telah kuat akalnya, kuat imannya dan ilmunya serta bersih ingatannya. Jadi, orang tersebut merasakan ketenangan, bahagia, tentram dan ia dapat berkomunikasi langsung dengan Allah. Thuma’ninah dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, ketenangan bagi kaum awam. Ketenangan ini didapatkan ketika seorang hamba berzikir, mereka merasa tenang karena buah dari berzikir adalah terkabulnya doa-doa. Kedua, ketenangan bagi orang-orang khusus. Mereka di tingkat ini merasa tenang karena mereka rela, senang atas keputusan Allah, sabar atas cobaan-Nya, ikhlas dan takwa. Ketiga, ketenangan bagi orang-orang paling khusus. Ketenangan di tingkat ini mereka dapatkan karena mereka mengetahui bahwa rahasia-rahasia hati mereka tidak sanggup merasa tentram kepada-Nya dan tidak bisa tenang kepada-Nya, karena kewibawaan dan keagungan-Nya.

5.      Uns
Uns (suka cita) dalam pandangan sufi adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah merasa sepi. Dalam keadaan seperti ini, seorang sufi merasakan tidak ada yang dirasa, tidak ada yang diingat, tidak ada yang diharap kecuali Allah. Segenap jiwa terpusat bulat kepada-Nya, sehingga ia seakan-akan tidak menyadari dirinya lagi dan berada dalam situasi hilang kesadaran terhadap alam sekitarnya. Situasi kejiwaan seperti itulah yang disebut al-Uns. Ada sebuah ungkapan yang menggambarkan al-Uns sebagai berikut: “Ada orang yang merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya, sebab sedang dimabuk cinta, seperti halnya sepasang pemuda dan pemudi. Ada pula orang yang bising dalam kesepian. Ia adalah orang selalu memikirkan atau merencanakan tugas pekerjaannya semata-mata. Adapun engkau selalu berteman di manapun berada. Alangkah mulianya engkau berteman dengan Allah. Artinya engkau selalu berada dalam pemeliharaan Allah.
Seorang hamba yang merasakan Uns dibedakan menjadi tiga kondisi. Pertama, seorang hamba yang merasakan suka cita berzikir mengingat Allah dan merasa gelisah di saat lalai. Merasa senang di saat berbuat ketaatan dan gelisah berbuat dosa. Kedua, seorang hamba yang merasa senang dengan Allah dan gelisah terhadap bisikan-bisikan hati, pikiran dan segala sesuatu selain Allah yang akan menghalanginya untuk dekat dengan Allah. Ketiga, yaitu kondisi yang tidak lagi melihat suka citanya karena adanya wibawa, kedekatan, kemuliaan dan mengagungkan disertai dengan suka cita.
6.      Musyahadah
Musyahadah secara harfiah adalah menyaksikan dengan mata kepala. Secara terminologi, tasawuf adalah menyaksikan secara jelas dan sadar apa yang dicarinya (Allah) atau penyaksian terhadap kekuasaan dan keagungan Allah. Seorang sufi telah mencapai musyahadah ketika sudah merasakan bahwa Allah telah hadir atau Allah telah berada dalam hatinya dan seseorang sudah tidak menyadari segala apa yang terjadi, segalanya tercurahkan pada yang satu, yaitu Allah, sehingga tersingkap tabir yang menjadi senjangan antara sufi dengan Allah. Dalam situasi seperti itu, seorang sufi memasuki tingkatan ma’rifat, di mana seorang sufi seakan-akan menyaksikan Allah dan melalui persaksiannya tersebut maka timbullah rasa cinta kasih.
Perpaduan antara pengetahuan dan rasa cinta yang mendalam lagi dengan adanya perjumpaan secara langsung, maka tertanamlah dalam qalb perasaan yang mantap tentang Allah. Perasaan mantapnya pengetahuan yang diperoleh dari pertemuan secara langsung itulah yang dinamakan al-yaqin. Jadi, al-yaqin berarti perpaduan antara pengetahuan yang luas serta mendalam dan rasa cinta serta rindu yang mendalam pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya perjumpaan secara langsung dengan Tuhannya. Dalam pandangan al-Junaid, yaqin adalah tetapnya ilmu di dalam hati, tidak berbalik, tidak berpindah dan tidak berubah. Dengan demikian, yaqin adalah kepercayaan yang kokoh, tak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang dimiliki.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam ilmu Tasawuf, maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui riyadhah, ibadah, maupun mujahadah. Di samping itu, maqamat berarti jalan panjang atau fase-fase yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah. Maqam dilalui seorang hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh dalam melakukan sejumlah kewajiban yang harus ditempuh dalam jangka waktu tertentu. Seorang hamba tidak akan mencapai maqam berikutnya sebelum menyempurnakan maqam sebelumnya.
Berkaitan dengan macam-macam maqamat yang harus ditempuh oleh seorang salik untuk berada sedekat mungkin dengan Allah, para sufi memiliki pendapat yang berbeda-beda Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah maqamat hanya tujuh , yaitu Al- Taubah, Al- Zuhud, Al-Wara’, Fakir, Sabar, Tawakkal, dan Al- Ridla. Sedangkan menurut Sedangkan Ahwal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata.
Jika berpijak dari beberapa pendapat para sufi di atas, maka tidak ada perbedaan, yang pada intinya, ahwal adalah keadaan rohani seorang hamba ketika hatinya telah bersih dan suci. Ahwal berlainan dengan maqam, hal tidak menentu datangnya, terkadang datang dan perginya berlangsung cepat, yang disebut lawaih dan ada pula yang datang dan perginya dalam waktu yang lama, yang disebut bawadih. Adapun macam-macam Ahwal yang paling banyak disepakati adalah muhasabah dan muraqabah, khauf, raja’, ath-thuma’ninah, uns, musyahadah.




[1] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak Tasawuf, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011), 243.
[2] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), 193-194
[3] Dr. M. Sholihin, M.Ag, Tasawuf tematik, 18
[4] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak Tasawuf, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011), 244-245.
[5] Ibid., 245-246
[6] Amin Syukur. Zuhud Di Abad Modern. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004), 1.
[7] Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), 114-115.
[8] Dr. H. Ali Mas’ud, M.Ag. Akhlak Tasawuf (Sidoarjo: CV Dwiputra Pustaka Jaya, 2012), 98-103.

[9] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak Tasawuf, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011), 250-251.
[10] Rosibon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 72.
[11] Dr. H. Ali Mas’ud, M.Ag. Akhlak Tasawuf (Sidoarjo: CV Dwiputra Pustaka Jaya, 2012), 103.
[12] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak Tasawuf, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011), 252-253.
[13] Dr. H. Ali Mas’ud, M.Ag. Akhlak Tasawuf (Sidoarjo: CV Dwiputra Pustaka Jaya, 2012), 105
[14] ibid

DAFTAR PUSTAKA

Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel. 2001. Akhlak Tasawuf. Surabaya: IAIN Surabaya Press.
Nata, Abuddin. 2011. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Pers.
Syukur, Amin. 2004. Zuhud Di Abad Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
As, Asmaran.2002. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Mas’ud, Ali. 2012. Akhlak Tasawuf. Sidoarjo: CV Dwiputra Pustaka Jaya.
Anwar, Rosibon dan Mukhtar Solihin. 2004. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Kartanegara, Mulyadhi. 2006. Menyelami Lubuk Tasawuf. Penerbit Erlangga.
Anwar Yusuf, Ali. 2003. Studi Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi. Bandung: Pustaka Setia.
Sholihin. 2003. Tasawuf Tematik. Bandung: Pustaka Setia.