MAQAMAT DAN AHWAL
Disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah “Ilmu Tasawuf”
Dosen
pengampu Dra.
Robingatun, M. Pd. I
Di
susun oleh:
Helma Naimul Fadzilah (933402012)
Binti rahayu (933400413)
Nadia Nufida Aflaha (933400613)
JURUSAN USHULUDDIN PROGRAM
PSIKOLOGI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
NEGERI (STAIN)
KEDIRI
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Balakang Masalah
Tasawuf merupakan salah satu fenomena dalam Islam yang
memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya
menimbulkan akhlak mulia. Melalui tasawuf ini seseorang dapat mengetahui
tentang cara-cara melakukan pembersihan diri serta mengamalkan secara benar. Banyak
pengertian tasawuf yang dirumuskan oleh ulama tasawuf, tetapi tidak mencakup
pengertian tasawuf secara menyeluruh. Defenisi tasawuf yang dirumuskan oleh
ulama tasawuf, tetapi tidak mencakup pengertian tasawuf secara menyeluruh.
Tinjauan analitis terhadap tasawuf menunjukkan bahwa
para sufi dengan berbagai aliran yang dianutnya memiliki suatu konsepsi tentang
jalan (thariqat) menuju Allah. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan
rohaniah (riyadah), lalu secara bertahap menempuh berbagai fase, yang dikenal
dengan maqam (tingkatan) dan hal (keadaan), dan berakhir dengan mengenal
(ma’rifat) kepada Allah. Tingkat pengenalan (ma’rifat) menjadi jargon yang
umumnya banyak dikejar oleh para sufi. Kerangka sikap dan perilaku sufi
diwujudkan melalui amalan dan metode tertentu yang disebut thariqat, atau jalan
untuk menemukan pengenalan (ma’rifat) Allah. Lingkup perjalanan menuju Allah
untuk memperoleh pengenalan (ma’rifat) yang berlaku di kalangan sufi sering
disebut sebagai sebuah kerangka ‘Irfani.
Perjalanan menuju Allah merupakan metode pengenalan
(ma’rifat) secara rasa (rohaniah) yang benar terhadap Allah. Manusia tidak akan
tidak akan tahu banyak mengenai penciptanya apabila belum melakukan perjalanan
menuju Allah walaupun ia adalah orang yang beriman secara aqliyah. Hal ini
karena adanya perbedaan yang dalam antara iman secara aqliyah atau logis-teoritis (Al-Iman Al-aqli
An-nazhari) dan iman secara rasa (al-iman Asy-syu’uri Ad-dzauqi).
Lingkup ‘Irfani tidak dapat dicapai dengan mudah atau
secara spontanitas, tetapi melalui proses yang panjang. Proses yang dimaksud
adalah maqam-maqam (tingkatan atau stasiun) dan ahwal (jama’ dari hal). Dua
persoalan ini harus dilewati oleh orang yang berjalan menuju Tuhan.
Namun perlu dicatat, maqam dan hal tidak dapat
dipisahkan. Keduanya ibarat dua sisi dalam satu mata uang. Keterkaitan antar
keduanya dapat dilihat dalam kenyataan bahwa maqam menjadi prasyarat menuju
Tuhan dan dalam maqam akan ditemukan kehadiran hal. Hal yang telah ditemukan
dalam maqam akan mengantarkan seseorang untuk mendaki maqam-maqam selanjutnya.
Untuk itu penulis akan membahas tentang maqam dan ahwal dalam tasawuf.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa yang dimaksud
dengan maqamat dan macam-macamnya dalam tasawuf ?
2.
Apa yang dimaksud
dengan ahwal dan macam-macamnya dalam tasawuf?
C. Tujuan
Pembahasan
1.
Untuk mengetahui
penjelasan dari maqamat dan macam-macamnya dalam tasawuf.
2.
Untuk mngetahui
penjelasan dari ahwal dan macam-macamnya dalam tasawuf.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Maqamat
Secara harfiah, maqamat merupakan jamak dari kata
maqam yang berarti tempat berpijak atau pangkat mulia. Dalam Bahasa Inggris
maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga. Sedangkan dalam ilmu
Tasawuf, maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa
yang telah diusahakan, baik melalui riyadhah, ibadah, maupun mujahadah. Di
samping itu, maqamat berarti jalan panjang atau fase-fase yang harus ditempuh
oleh seorang sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah. Maqam dilalui
seorang hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh dalam melakukan sejumlah
kewajiban yang harus ditempuh dalam jangka waktu tertentu. Seorang hamba tidak
akan mencapai maqam berikutnya sebelum menyempurnakan maqam sebelumnya.[1]
Tentang berapa jumlah tangga atau maqamat yang harus
ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai menuju Tuhan, di kalangan para sufi
tidak sama pendapatnya. Muhammad al-Kalabazy dalam kitabnya al-Ta’arruf li
Mazhab ahl al-Tasawwuf, sebagai dikutip Harun Nasution misalnya mengatakan bahwa
maqamat itu jumlahnya ada sepuluh, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-shabr,
al-faqr, al-tawadlu’, al-taqwa, al-tawakkal, al-ridla, al-mahabbah dan
al-ma’rifah.
Sementara itu Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab
al-Luma’ menyebutkan jumlah maqamat hanya tujuh, yaitu al-taubah, al-wara’,
al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal dan al-ridla.
Dalam pada itu Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’
Ulum al-Din mengatakan bahwa maqamat itu ada delapan, yaitu al-taubah,
al-shabr, al-zuhud, al-tawakkal, al-mahabbah, al-ma’rifah, dan al-ridla.
Kutipan tersebut memperlihatkan keadaan variasi
penyebutan maqamat yang berbeda-beda, namun ada maqamat yang oleh mereka
disepakati, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal
dan al-ridla. Sedangkan al-tawaddlu, al-mahabbah, dan al-ma’rifah oleh mereka
tidak disepakati sebagai maqamat. Terhadap tiga istilah yang disebut terakhir
itu (al-tawaddlu, al-mahabbah dan al-ma’rifah) terkadang para ahli tasawuf
menyebutnya sebagai maqamat, dan terkadang menyebutnya sebagai hal dan ittihad
(tercapainya kesatuan wujud rohaniah dengan Tuhan). Untuk itu dalam uraian ini,
maqamat yang akan dijelaskan lebih lanjut adalah maqamat yang disepakati oleh
mereka, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara’, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal,
dan al-ridla. Penjelasan atas masing-masing istilah tersebut dapat dikemukakan
sebagai berikut:[2]
1.
Taubat
Taubat berasal dari Bahasa Arab taba-yatubu-taubatan
yang berarti “kembali” dan “penyelesalan”. Sedangkan pengertian taubat bagi
kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa yang disertai dengan
penyesalan dan berjanji dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan
dosa tersebut dan dibarengi dengan melakukan kebajikan yang dianjurkan oleh
Allah.
Taubat menurut Dzun Nun al-Misri dibedakan menjadi
tiga tingkatan: (1) orang yang bertaubat dari dosa dan keburukan, (2) orang
yang bertaubat dari kelalaian mengingat Allah dan (3) orang yang bertaubat
karena memandang kebaikan dan ketaatannya.[3] Dari ketiga tingkatan taubat tersebut, yang
dimaksud sebagai maqam dalam tasawuf adalah upaya taubat, karena merasakan
kenikmatan batin.
Bagi orang awam, taubat dilakukan dengan membaca
astagfirullah wa atubu ilaihi. Sedangkan bagi orang khawash taubat dilakukan
dengan riyadhah dan mujahadah dalam rangka membuka hijab yang membatasi dirinya
dengan Allah swt. Taubat ini dilakukan para sufi hingga mampu menggapai maqam
yang lebih tinggi.
Lain halnya dengan Ibnu Taimiyah. Ia membedakan taubat
menjadi dua: taubat wajib dan taubat sunnah. Taubat wajib adalah taubat karena
menyesali perbuatan meninggalkan perkara-perkara wajib, atau menyesal karena
melakukan perkara-perkara haram. Sedangkan taubat sunnah adalah taubat karena
menyesali perbuatan meninggalkan perkara-perkara sunnah, atau karena menyesali perbuatan
melakukan perkara-perkara makruh. Berkaitan dengan dua macam taubat ini, Ibnu
Taimiyah menjelaskan tingkatan/derajat orang yang bertaubat menjadi dua.
Pertama, al-abrar al-muqtashidun (orang-orang yang berbakti lagi pertengahan),
yaitu orang-orang yang melakukan jenis taubat yang pertama, yaitu taubat wajib.
Kedua, as-sabiqun al-awwalun. Mereka adalah orang yang melakukan jenis taubat
wajib dan taubat sunnah.[4]
Berkaitan
dengan maqam taubat, dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang menjelaskan
masalah ini, di antaranya adalah ayat yang berbunyi:
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً
أَو ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوْا اللَّه فَاسْتَغْفَرُوْا لِذُنُوْبِهِمْ
وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلَّا للَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَي مَا فَعَلُوا
وَهُمْ ىَعْلَمُونَ (135: ن ا م ع ل ا)
Artinya:
Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya
diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa
mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan
mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.(Ali
Imron: 135).
وَتُوْبُوا إِلَي اللَّهِ جَمِيْعًا
أَيُّهَا الْمٌؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ (31:
النّور)
Artinya:
...dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman
supaya kamu beruntung.(An-Nur: 31)[5]
2.
Zuhud
Secara etimologis, zuhud berarti ragaba ‘ansyai’in wa
tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zuhada
fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.[6]
Menurut
pandangan orang-orang sufi, dunia dan segala kemewahan, serta kelezatannya
adalah sumber kemaksiatan dan penyebab terjadinya perbuatan-perbuatan dosa.
Oleh karena itu, seorang pemula atau calon sufi harus terlebih dahulu menjadi
zahid. Sikap zuhd ini erat hubungannya dengan taubah, sebab taubah tidak akan
berhasil apabila hati dan keinginannya masih terkait kepada kesenangan duniawi.
Imam
al-Qusyairi mengatakan, “zuhd ialah tidak merasa bangga dengan kemewahan dunia
yang telah ada di tangannya dan tidak merasa bersedih dengan hilangnya
kemewahan tadi dari tangannya. [7]
Berkaitan
dengan konsep zuhud, dalam al-Qur’an terdapat ayat yang menjelaskan hal itu, di
antaranya:
قُلْ
مَتٰعُ الدُّنْيَا قَلِيْلٌ وَالْ ءَاخِرَةُ خَيْرٌ لِّمَنِ اتَّقَىٰ وَلَا
تُظْلَمُونَ فَتِيْلًا (77: النّساء)
Artinya:
Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih
baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.
وَمَا الْحيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا
لَعِبٌ وَلَهْوٌ ۖ وَلَلدَّارُ الآخِرَةُ
خَيْرٌ لِلَّذِيْنَ يَتَّقُون ۗ أَفَلَا تَعْقِلُونَ (32:
الأنعام)
Artinya:
Dan Tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka.
Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka
tidakkah kamu memahaminya?(Al-An’am: 32).
Ayat-ayat
di atas secara singkat menjelaskan bahwa kehidupan dunia yang kita rasakan
hanyalah sesaat dan suatu saat akan lenyap dan musnah dalam seketika, dibandingkan
dengan kehidupan akhirat yaitu kehidupan yang ditempuh sesudah kita mati
merupakan alam yang kekal dan abadi dan merupakan kehidupan yang lebih baik
daripada kehidupan dunia.
Zuhud
berdasarkan maksudnya dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, zuhud menjauhkan
dunia agar terhindar dari hukuman akhirat. Kedua, zuhud menjauhi dunia dengan
mengharap imbalan di akhirat. Ketiga, zuhud meninggalkan kesenangan dunia bukan
karena berharap atau takut, akan tetapi karena kecintaan terhadap Allah semata.
Pada tingkatan ketiga inilah yang mampu membukakan tabir antara seorang hamba
dan Allah.[8]
Selain
ketiga zuhud tersebut, al-Ghazali juga mengklasifikasikan zuhud menjadi
beberapa tingkatan, yaitu:
·
Zuhud yang
dikaitkan dengan jiwa orang yang berzuhud. Tingkatan ini dibedakan kembali
menjadi tiga bagian berdasarkan kuat lemahnya zuhud, yaitu:
1. As-sufla,
yaitu derajat zuhud yang paling rendah, dimana orang meninggalkan kemewahan
dunia tetapi sebenarnya hatinya masih cenderung dan menginginkannya.
2. Derajat
zuhud orang yang meninggalkan kemewahan dunia secara sukarela, karena ia
melihat dunia sebagai kehinaan.
3. A-‘Ulya,
yaitu derajat yang paling tinggi. Maksudnya, di sini adalah menjauhi kemewahan
dunia secara sukarela, karena ia melihat dunia tidak mempunyai nilai apa-apa
dan tidak sepadan dengan sesuatu apapun.
·
Zuhud yang
dikaitkan dengan sesuatu yang dicintai. Zuhud ini dibagi menjadi tiga bagian,
yaitu:
1. Zuhudnya
orang takut, dimana seorang hamba melakukan zuhud dikarenakan takut akan siksa
neraka, azab kubur dan lain-lain.
2. Zuhud
orang yang mengharapkan pahala, nikmat Allah dan kelezatan yang telah
dijanjikan di dalam surga.
3. Derajat
yang tertinggi, yaitu zuhudnya para arif di mana zuhud mereka bukan dikarenakan
suatu apapun selain Allah, tetapi hanya ingin berjumpa dengan Allah.
·
Zuhud yang
dikaitkan dengan sesuatu yang harus ditinggalkan. Tingkatan ini dibagi menjadi:
1. Meninggalkan
sesuatu selain Allah.
2. Meninggalkan
segala sesuatu yang dikarenakan nafsu, seperti marah, sombong, pangkat, harta,
dan lain-lain.
3.
Sabar
Sabar, secara harfiah, berarti tabah hati. Secara
terminologi, sabar adalah suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan konsekuen
dalam pendirian. Sedangkan menurut pandangan Dzun Nun al-Misri, sabar berarti
menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetap
tenang ketika mendapat cobaan dan menampakkan sikap cukup, walaupun sebenarnya
berada dalam kefakiran. Berdasarkan pengertian di atas, maka sabar erat
hubungannya dengan pengendalian diri, pengendalian sikap dan pengendalian
emosi. Oleh sebab itu, sikap sabar tidak bisa terwujud begitu saja, akan tetapi
harus melalui latihan yang sungguh-sungguh.[9]
Sabar,
menurut Al-Ghazali, jika dipandang sebagai pengekangan tuntutan nafsu dan
amarah, dinamakan sebagai kesabaran jiwa (ash-shabr an-nafs), sedangkan menahan
terhadap penyakit fisik, disebut sebagai sabar badani (ash-shabr al-badani).
Kesabaran jiwa sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek. Misalnya, untuk menahan
nafsu makan dan seks yang berlebihan.[10]
4.
Wara’
Wara’ secara harfiah berarti saleh, menjauhkan diri
dari perbuatan dosa atau maksiat. Sedangkan pengertian wara’ dalam pandangan
sufi adalah meninggalkan segala sesuatu dari yang didalamnya mengandung
keragu-raguan dalam hukumnya, baik yang menyangkut makanan, pakaian, maupun
persoalan lainnya.[11] Menurut Qamar Kailani
yang dikutip oleh Rivay A. Siregar, wara’ dibagi menjadi dua: wara’ lahiriyah
dan wara’ batiniyah. Wara’ lahiriyah adalah tidak mempergunakan segala yang
masih diragukan dan meninggalkan kemewahan, sedangkan wara’ batiniyah adalah
tidak menempatkan atau mengisi hati kecuali dengan mengingat Allah. Dalam kitab
Al-Luma’ dijelaskan bahwa orang-orang wara’ dibagi menjadi tiga tingkatan.
Pertama, wara’ orang yang menjauhkan diri dari syubhat. Kedua, wara’ orang yang
menjauhkan diri dari sesuatu yang menjadi keraguan hati dan ganjalan di dada.
Ketiga, wara’ orang arif yang sanggup menghayati dengan hati nurani.[12]
5.
Fakir
Secara harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang
yang berhajat, butuh atau orang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi fakir
adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita. Tidak
meminta rezeki kecuali hanya untuk menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak
meminta sungguhpun tak ada pada diri kita, kalau diberi diterima. Tidak meminta
tetapi tidak menolak.[13]
6.
Tawakkal
Secara harfiah tawakkal berarti menyerahkan diri. Menurut
Sahal bin Abdullah bahwa awalnya tawakkal adalah apabila seorang hamba di
hadapan Allah seperti bangkai di hadapan orang yang memandikannya, ia mengikuti
semaunya yang memandikan, tidak dapat bergerak dan bertindak. Hamdun
al-Qashshar mengatakan tawakkal adalah berpegang teguh pada Allah.
Harun
Nasution mengatakan tawakkal adalah menyerahkan diri kepada qada dan keputusan
Allah. Selamanya dalam keadaan tenteram, jika mendapat pemberian berterima
kasih, jika mendapat apa-apa bersikap sabar dan menyerah kepada qada dan qadar
Tuhan. Tidak memikirkan hari esok, cukup dengan apa yang ada untuk hari ini.
Tidak mau makan, jika ada orang lain yang lebih berhajat pada makanan tersebut
daripada dirinya. Percaya kepada janji Allah. Menyerah kepada Allah dengan Allah
dan karena Allah.
Seseorang yang berada pada maqam tawakkal akan
merasakan ketenangan dan ketentraman. Ia senantiasa merasa mantap dan optimis
dalam bertindak. Disamping itu dia juga akan mendapatkan kekuatan spiritual,
serta keperkasaan luar biasa yang dapat mengalahkan segala kekuatan yang
bersifat material.
7.
Ridha
Ridha, secara harfiah, berarti rela, senang dan suka.
Sedangkan pengertiannya secara umum adalah tidak menentang qadha dan qadar
Allah, menerima qadha dan qadar dengan hati senang.[14] Mengeluarkan perasaan
benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanya perasaan senang dan
gembira. Merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang menerima
nikmat. Tidak meminta surga dari Allah dan tidak meminta dijauhkan dari neraka.
Sikap ridha ini merupakan kelanjutan rasa cinta atau perpaduan dari mahabbah
dan sabar. Rasa cinta yang diperkuat dengan ketabahan akan menimbulkan
kelapangan hati dan kesediaan yang tulus untuk berkorban dan berbuat apa saja
yang diperintahkan oleh Allah Swt.
Menurut Abdullah bin Khafif, ridha dibagi menjadi dua
macam: ridha dengan Allah dan ridha terhadap apa yang datang dari Allah. Ridha
dengan Allah berarti bahwa seorang hamba rela terhadap Allah sebagai pengatur
jagad raya seisinya, sedangkan ridha terhadap apa yang datang dari Allah yaitu
rela terhadap apa saja yang telah menjadi ketetapan Allah Swt.
B. Ahwal
Secara bahasa, ahwal merupakan jamak dari kata tunggal
hal yang berarti keadaan sesuatu yang sering diperoleh secara spontan sebagai
hadiah dari Tuhan (keadaan rohani).
Menurut Syeikh Abu Nashr as-Sarraj, hal adalah sesuatu yang terjadi
secara mendadak yang bertempat pada hati nurani dan tidak mampu bertahan lama,
sedangkan menurut al-Ghazali, hal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang
dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah
dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata. Sehubungan
dengan ini, Harun Nasution mendefinisikan hal sebagai keadaan mental, seperti
perasaan senang, persaan sedih, perasaan takut, dan sebagainya.
Jika berpijak dari beberapa pendapat para sufi di
atas, maka tidak ada perbedaan, yang pada intinya, hal adalah keadaan rohani
seorang hamba ketika hatinya telah bersih dan suci. Hal berlainan dengan maqam,
hal tidak menentu datangnya, terkadang datang dan perginya berlangsung cepat,
yang disebut lawaih dan ada pula yang datang dan perginya dalam waktu yang
lama, yang disebut bawadih. Jika maqam diperoleh melalui usaha, akan tetapi hal
bukan diperoleh melalui usaha, akan tetapi anugerah dan rahmat dari Tuhan.
Maqam sifatnya permanen, sedangkan hal sifatnya temporer sesuai tingkatan
maqamnya. Sebagaimana halnya dengan
maqamat, dalam penentuan hal juga terdapat perbedaan pendapat di kalangan sufi.
Adapun al- hal yang paling banyak disepakati adalah al-muraqabah, al-khauf,
ar-raja’, ath-thuma’ninah, al-musyahadah, dan al-yaqin. Penjelasan tentang ahwal tersebut adalah
sebagai berikut:
1.
Muhasabah dan
Muraqabah
Waspada dan mawas diri (muhasabah dan muraqabah)
merupakan dua hal yang saling berkaitan erat. Oleh karena itu, ada sufi yang
mengupasnya secara bersamaan. Waspada dan mawas diri merupakan dua sisi dari
tugas yang sama dalam rangka menundukan perasaan jasmani yang berupa kombinasi
dari pembawaan nafsu dan amarah.
Musahabah dapat diartikan meyakini bahwa Allah
mengetahui segaal pikiran, perbuatan, dan rahasia dalam hati, yang membuat
seseorang menjadi hormat, takut, dan tunduk kepada Allah. Muraqabah artinya
merasa selalu diawasi oleh Allah SWT sehingga dengan kesadaran ini mendorong
manusia senantiasa rajin melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Sesungguhnya
manusia hakikinya selalu berhasrat dan ingin kepada kebaikan dan menjunjung
nilai kejujuran dan keadilan, meskipun tidak ada orang yang melihatnya.
Kehati-hatian (mawas diri) adalah kesadaran. Kesadaran
ini makin terpelihara dalam diri seseorang hamba jika meyakini bahwa Allah SWT
senantiasa melihat dirinya.
Syeikh Ahmad bin Muhammad Ibnu Al Husain Al Jurairy
mengatakan, “Jalan kesuksesan itu dibangun di atas dua bagian. Pertama,
hendaknya engkau memaksa jiwamu muraqabah (merasa diawasi) oleh Allah SWT.
Kedua, hendaknya ilmu yang engkau miliki tampak di dalam perilaku lahiriahmu
sehari-hari”.
2.
Khauf
Khauf adalah suatu sikap mental yang merasa takut
kepada Allah karena kurang sempurna pengabdianya. Takut dan kawatir kalau Allah
tidak senang kepadanya. Menurut Ghozali Khauf adalah rasa sakit dalam hati
karena khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak disenagi dimasa sekarang.
Menurut al Ghozali Khauf terdiri dari tiga tingkatan
atau tiga derajat, diantaranya adalah:
a. Tingkatan
Qashir (pendek), Yaitu khauf seperti kelembutan perasaan yang dimiliki wanita,
perasaan ini seringkali dirasakan tatkala mendengarkan ayat-ayat Allah dibaca.
b. Tingkatan
Mufrith (yang berlebihan), yaitu khauf yang sangat kuat dan melewati batas
kewajaran dan menyebabkan kelemahan dan putus asa, khauf tingkat ini
menyebabkan hilangya kendali akal dan bahkan kematian, khauf ini dicela karena
karena membuat manusia tidak bisa beramal.
c. Tingkatan
Mu’tadil (sedang), yaitu tingkatan yang sangat terpuji, ia berada pada khauf
qashir dan mufrith.
Rasulullah SAW bersabda: "Apabila tubuh hamba
menggigil karena takut kepada Allah SWT, dosa-dosanya berguguran seperti
daun-daun yang berguguran dari pohon".
Abû al-Layts r.a. berkata, "Allah memiliki para
malaikat di langit ketujuh. Mereka bersujud sejak Allah menciptakan mereka
hingga hari kiamat. Mereka menggigil ketakutan karena takut kepada Allah SWT
Apabila hari kiamat tiba, mereka mengangkat kepala dan berkata, Mahasuci
Engkau, kami menyembah-Mu dengan penyembahan yang sebenar-benarnya".
Itulah firman Allah SWT: Mereka takut kepada Tuhan
mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (QS. an-Nahl
[16]: 50). Yakni, mereka tidak berbuat maksiat kepada Allah sekejap mata pun.
Rasulullah SAW bersabda, "Apabila tubuh hamba
menggigil karena takut kepada Allah SWT, dosa-dosanya berguguran seperti
daun-daun yang berguguran dari pohon." Dikisahkan bahwa seorang laki-laki
tertambat hatinya kepada seorang perempuan. Perempuan itu keluar untuk suatu
keperluan. Laki-laki itu ikut pergi bersamanya. Ketika mereka berduaan di
padang sahara, sementara orang lain sudah tertidur, laki-laki itu mengungkapkan
isi hatinya kepada perempuan tersebut: Perempuan itu berkata,"Lihatlah,
semua orang sudah tertidur.” Laki-laki itu senang mendengar kata-kata itu.
Dia mengira bahwa perempuan itu telah memberikan
jawaban kepadanya. Lalu, dia berdiri dan mengelilingi kafilah. Dia mendapati
orang-orang sudah tertidur. Lalu, dia kembali kepada perempuan itu dan berkata,
"Benar, mereka telah tidur." Namun, perempuan itu bertanya, "Apa
pendapatmu tentang Allah, apakah Dia tidur pada saat ini?" Laki-laki itu
menjawab, "Allah SWT tidak tidur. Dia tidak pernah terserang kantuk dan
tidur". Perempuan itu berkata, "Zat yang tidak tidur dan tidak akan
tidur selalu melihat kita walaupun orang lain tidak melihat kita. Karena itu,
Allah lebih pantas untuk ditakuti." Akhirnya, laki-laki itu pun
meninggalkan perempuan tadi karena takut kepada Sang Pencipta. Dia bertobat dan
kembali ke kampung halamannya. Ketika dia meninggal, orang-orang bemimpi
melihatnya. Ditanyakan kepadanya, "Apa tindakan Allah kepadamu?" Dia
menjawab, "Dia mengampuniku karena ketakutanku itu. Dengan demikian,
terhapuslah dosa tersebut."
3.
Raja’
Raja’ dapat berarti berharap atau optimisme, yaitu
perasaan senang hati karena menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi.
Raja’ atau optimisme ini telah ditegaskan dalam al-Qur’an:
إِنَّ الَّذِيْنَ آمَنُوا والَّذِينَ
هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولٰئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ ۚ
وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (218: البقرة)
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad
di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang”.(Al-Baqarah: 218).
Orang yang harapan dan penantiannya mendorongnya untuk
berbuat ketaatan dan mencegahnya dari kemaksiatan, berarti harapannya benar.
Sebaliknya, jika harapannya hanya angan-angan, semenatara ia sendiri tenggelam
dalam lembah kemaksiatan, harapannya sia-sia.
Raja’
menurut tiga perkara, yaitu:
a. Cinta
kepada apa yang diharapkannya.
b. Takut
bila harapannya hilang.
c. Berusaha
untuk mencapainya.
Raja’ yang tidak dibarengi dengan tiga perkara itu
hanyalah ilusi atau hayalan. Setiap orang yang berharap adalah juga orang yang
takut (khauf). Orang yang berharap untuk sampai di suatu tempat tepat waktunya,
tentu ia takut terlambat. Dan karena takut terlambat, ia mempercepat jalannya.
Begitu pula orang yang mengharap rida atau ampunan Tuhan, diiringi pula dengan
rasa takut akan siksaan Tuhan.
4.
Thuma’ninah
Thuma’ninah adalah rasa tenang, tidak ada rasa was-was
atau khawatir, tak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran, karena ia
telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Seseorang yang telah
mencapai tingkatan thuma’ninah, ia telah kuat akalnya, kuat imannya dan ilmunya
serta bersih ingatannya. Jadi, orang tersebut merasakan ketenangan, bahagia,
tentram dan ia dapat berkomunikasi langsung dengan Allah. Thuma’ninah dibagi
menjadi tiga tingkatan. Pertama, ketenangan bagi kaum awam. Ketenangan ini
didapatkan ketika seorang hamba berzikir, mereka merasa tenang karena buah dari
berzikir adalah terkabulnya doa-doa. Kedua, ketenangan bagi orang-orang khusus.
Mereka di tingkat ini merasa tenang karena mereka rela, senang atas keputusan
Allah, sabar atas cobaan-Nya, ikhlas dan takwa. Ketiga, ketenangan bagi
orang-orang paling khusus. Ketenangan di tingkat ini mereka dapatkan karena
mereka mengetahui bahwa rahasia-rahasia hati mereka tidak sanggup merasa
tentram kepada-Nya dan tidak bisa tenang kepada-Nya, karena kewibawaan dan
keagungan-Nya.
5.
Uns
Uns (suka cita) dalam pandangan sufi adalah sifat
merasa selalu berteman, tak pernah merasa sepi. Dalam keadaan seperti ini,
seorang sufi merasakan tidak ada yang dirasa, tidak ada yang diingat, tidak ada
yang diharap kecuali Allah. Segenap jiwa terpusat bulat kepada-Nya, sehingga ia
seakan-akan tidak menyadari dirinya lagi dan berada dalam situasi hilang
kesadaran terhadap alam sekitarnya. Situasi kejiwaan seperti itulah yang
disebut al-Uns. Ada sebuah ungkapan yang menggambarkan al-Uns sebagai berikut:
“Ada orang yang merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu
memikirkan kekasihnya, sebab sedang dimabuk cinta, seperti halnya sepasang
pemuda dan pemudi. Ada pula orang yang bising dalam kesepian. Ia adalah orang
selalu memikirkan atau merencanakan tugas pekerjaannya semata-mata. Adapun
engkau selalu berteman di manapun berada. Alangkah mulianya engkau berteman
dengan Allah. Artinya engkau selalu berada dalam pemeliharaan Allah.
Seorang hamba yang merasakan Uns dibedakan menjadi
tiga kondisi. Pertama, seorang hamba yang merasakan suka cita berzikir
mengingat Allah dan merasa gelisah di saat lalai. Merasa senang di saat berbuat
ketaatan dan gelisah berbuat dosa. Kedua, seorang hamba yang merasa senang
dengan Allah dan gelisah terhadap bisikan-bisikan hati, pikiran dan segala
sesuatu selain Allah yang akan menghalanginya untuk dekat dengan Allah. Ketiga,
yaitu kondisi yang tidak lagi melihat suka citanya karena adanya wibawa,
kedekatan, kemuliaan dan mengagungkan disertai dengan suka cita.
6.
Musyahadah
Musyahadah secara harfiah adalah menyaksikan dengan
mata kepala. Secara terminologi, tasawuf adalah menyaksikan secara jelas dan
sadar apa yang dicarinya (Allah) atau penyaksian terhadap kekuasaan dan
keagungan Allah. Seorang sufi telah mencapai musyahadah ketika sudah merasakan
bahwa Allah telah hadir atau Allah telah berada dalam hatinya dan seseorang
sudah tidak menyadari segala apa yang terjadi, segalanya tercurahkan pada yang
satu, yaitu Allah, sehingga tersingkap tabir yang menjadi senjangan antara sufi
dengan Allah. Dalam situasi seperti itu, seorang sufi memasuki tingkatan
ma’rifat, di mana seorang sufi seakan-akan menyaksikan Allah dan melalui
persaksiannya tersebut maka timbullah rasa cinta kasih.
Perpaduan antara pengetahuan dan rasa cinta yang mendalam
lagi dengan adanya perjumpaan secara langsung, maka tertanamlah dalam qalb
perasaan yang mantap tentang Allah. Perasaan mantapnya pengetahuan yang
diperoleh dari pertemuan secara langsung itulah yang dinamakan al-yaqin. Jadi,
al-yaqin berarti perpaduan antara pengetahuan yang luas serta mendalam dan rasa
cinta serta rindu yang mendalam pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya
perjumpaan secara langsung dengan Tuhannya. Dalam pandangan al-Junaid, yaqin
adalah tetapnya ilmu di dalam hati, tidak berbalik, tidak berpindah dan tidak
berubah. Dengan demikian, yaqin adalah kepercayaan yang kokoh, tak tergoyahkan
tentang kebenaran pengetahuan yang dimiliki.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam ilmu Tasawuf,
maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang
telah diusahakan, baik melalui riyadhah, ibadah, maupun mujahadah. Di samping
itu, maqamat berarti jalan panjang atau fase-fase yang harus ditempuh oleh
seorang sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah. Maqam dilalui seorang
hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh dalam melakukan sejumlah kewajiban
yang harus ditempuh dalam jangka waktu tertentu. Seorang hamba tidak akan
mencapai maqam berikutnya sebelum menyempurnakan maqam sebelumnya.
Berkaitan dengan
macam-macam maqamat yang harus ditempuh oleh seorang salik untuk berada sedekat
mungkin dengan Allah, para sufi memiliki pendapat yang berbeda-beda Abu Nasr
al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah maqamat hanya tujuh ,
yaitu Al- Taubah, Al- Zuhud, Al-Wara’, Fakir, Sabar, Tawakkal, dan Al- Ridla.
Sedangkan menurut Sedangkan Ahwal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang
dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah
dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata.
Jika berpijak dari
beberapa pendapat para sufi di atas, maka tidak ada perbedaan, yang pada
intinya, ahwal adalah keadaan rohani seorang hamba ketika hatinya telah bersih
dan suci. Ahwal berlainan dengan maqam, hal tidak menentu datangnya, terkadang
datang dan perginya berlangsung cepat, yang disebut lawaih dan ada pula yang
datang dan perginya dalam waktu yang lama, yang disebut bawadih. Adapun
macam-macam Ahwal yang paling banyak disepakati adalah muhasabah dan muraqabah,
khauf, raja’, ath-thuma’ninah, uns, musyahadah.
[1] Tim
Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak Tasawuf, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011),
243.
[2] Abuddin
Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), 193-194
[3] Dr. M. Sholihin, M.Ag, Tasawuf tematik, 18
[4] Tim
Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak Tasawuf, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011),
244-245.
[5] Ibid.,
245-246
[6] Amin
Syukur. Zuhud Di Abad Modern. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004), 1.
[7] Asmaran
As, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), 114-115.
[8] Dr.
H. Ali Mas’ud, M.Ag. Akhlak Tasawuf (Sidoarjo: CV Dwiputra Pustaka Jaya, 2012),
98-103.
[9] Tim
Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak Tasawuf, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011),
250-251.
[10] Rosibon
Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 72.
[11] Dr.
H. Ali Mas’ud, M.Ag. Akhlak Tasawuf (Sidoarjo: CV Dwiputra Pustaka Jaya, 2012),
103.
[12] Tim
Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak Tasawuf, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011),
252-253.
[13] Dr.
H. Ali Mas’ud, M.Ag. Akhlak Tasawuf (Sidoarjo: CV Dwiputra Pustaka Jaya, 2012),
105
[14] ibid
DAFTAR
PUSTAKA
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel.
2001. Akhlak Tasawuf. Surabaya: IAIN Surabaya Press.
Nata, Abuddin. 2011. Akhlak Tasawuf.
Jakarta: Rajawali Pers.
Syukur, Amin. 2004. Zuhud Di Abad
Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
As, Asmaran.2002. Pengantar Studi
Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Mas’ud, Ali. 2012. Akhlak Tasawuf. Sidoarjo:
CV Dwiputra Pustaka Jaya.
Anwar, Rosibon dan Mukhtar Solihin. 2004. Ilmu
Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Kartanegara,
Mulyadhi.
2006. Menyelami Lubuk Tasawuf. Penerbit Erlangga.
Anwar Yusuf, Ali. 2003. Studi
Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi. Bandung: Pustaka Setia.
Sholihin.
2003.
Tasawuf Tematik. Bandung: Pustaka Setia.