CORAK ISLAM KEINDONESIAAN DAN
KONSEP
NEGARA MENURUT MOHAMMAD NATSIR
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pemikiran Modern Dalam
Islam (PMDI)
Dosen pengampu : Dr. Hj. Umi Hanik, M.Ag
Di susun oleh:
Nadia
Nufida Aflaha (933400613)
Ririn
Ernawati (933401613)
JURUSAN USHULUDDIN PROGRAM PSIKOLOGI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
KEDIRI
2015
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pembaruan
Islam di Nusantara barangkali tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa Islam
sebagai agama yang berkembang dalam masyarakat terus-menerus mengalami
pembaruan demi pembaruan. Adakalanya pembaruan itu menekankan pada keharusan
mengikuti ajaran-ajaran ortodoks. Adakalanya pembaruan itu berupa gerakan
pemurnian. Adakalanya pula pembaruan itu sebagai upaya menafsirkan kembali
ajaran agama agar dapat berfungsi efektif dalam konteks zamannya.
Sejarah
Bangsa Indonesia mencatat seorang tokoh bernama Mohammad Natsir. Dia adalah
perdana menteri, tokoh politik, tokoh pergerakan, tokoh Islam, sekaligus tokoh
pendidikan. Mohammad Natsir berpendapat, Islam bukanlah semata-mata suatu
agama, tapi adalah suatu pandangan hidup yang meliputi soal-soal politik,
ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Sejarah perkembangan Islam menunjukkan bahwa
negara dibutuhkan sebagai upaya untuk mengembangkan dakwah di muka bumi.
Perjalanan
sejarah hubungan antara Islam dan politik tersebut tidak lepas dari
permasalahan. Salah satu persoalan yang sangat penting dan menimbulkan
kontroversi dalam wacana politik Islam adalah ketika Nabi Muhammad SAW. wafat
dan tidak meninggalkan satu sunnah yang pasti bagaimana sistem penyelenggaraan
negara itu. Ketidakjelasan dalam praktik peneyelenggaraan sistem kenegaraan
inilah yang kemudian dalam perjalanan sejarah umat Islam, kita melihat selalu berubah-ubah.
Dengan
wawasan politik dan agama yang luas, mengantarkan Mohammad Natsir untuk
memimpin sidang Muktamar Alam Islami di Damaskus pada tahun 1957. Oleh karena
itu, study tentang pemikiran dan aksi politik Islam Mohammad Natsir menjadi
sangat menarik dan patut untuk diteliti secara mendalam dalam rangka memberikan
kontribusi positif yang tinggi bagi upaya memahami format politik Islam di
Indonesia dalam kaitannya dengan relasi Islam dan negara.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana corak Islam keindonesiaan?
2.
Bagaimana konsep negara menurut Mohammad
Natsir?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Corak Islam Keindonesiaan
Sejarah
perkembangan Islam di Nusantara mengalami berbagai gelombang pembaruan. Dimulai
dengan pengislaman awal antara abad ke-13 dan ke-15, Islam perlahan diserap
oleh berbagai suku di negeri ini. Pada abad ke-17 dan ke-18, beberapa ulama
yang telah belajar tradisi Islam di tanah suci kembali ke daerah asalnya dan
umumnya berperan sebagai penasihat
penguasa lokal. Kemudian para ulama berusaha menggiring keislaman masyarakat ke
jalur yang ortodoks. Selanjutnya, di awal abad ke-20, semangat pemurnian Islam
juga merambah negeri ini.
Proses
yang terus-menerus dan beragam itulah yang akhirnya membentuk corak Islam
disuatu daerah. Soekarno adalah salah seorang tokoh yang cukup awal menyadari
hal ini, ia mengamati perkembangan Islam di berbagai negara. Soekarno
menganjurkan agar semangat kebangsaan (nasionalisme) harus dipupuk dan
dijadikan dasar bagi pembentukan negara Indonesia pada kemudian hari, yakni Islam,
sebagai dasar perekat tersebut.
1.
Islam,
Budaya Lokal, dan Global
Hikayat
para wali yang menyiarkan agama di Pulau Jawa sering dijadikan rujukan untuk
menunjukkan sikap akomodatif tersebut. Berbagai upacara tradisional yang
akar-akarnya mungkin dapat ditemukan dalam budaya pra-Islam tidak dibuang,
tetapi disesuaikan dengan ajaran Islam. Meskipun akomodasi Islam terhadap
budaya lokal sudah tumbuh dan berkembang sejak lama sekali, tapi artikulasi
gagasan ini secara lebih jelas baru muncul di tangan Abdurrahman Wahid (Gus
Dur) di awal 1980-an, yakni ketika ia menggulirkan ide Pribumi Islam.
Gagasan
pribumi Islam sempat menimbulkan pro-kontra ketika muncul tuduhan bahwa Gus Dur
menganjurkan perubahan Assalamualaikum menjadi Selamat Pagi.
Pribumisasi Islam di negeri lain, termasuk Indonesia. Kedua sejarah itu
membentuk sebuah sungai besar yang terus mengalir dan kemudian dimasuki lagi
oleh kali cabangan sehingga sungai itu semakin membesar. Bergabungnya kali baru
berarti masuknya air baru yang mengubah warna air yang telah ada. Bahkan, pada
tahap berikutnya, aliran sungai ini mungkin terkena limbah industri yang sangat
kotor. Namun, tetap merupakan sungai yang sama dari air yang lama. Maksud dari
perumpamaan ini adalah bahwa proses pergulatan dengan kenyataan sejarah
tidaklah mengubah Islam, tetapi hanya mengubah menifestasi dari kehidupan agama
Islam.
Pentingnya
pertimbangan budaya lokal jelas tidak hanya menjadi argument di kalangan
pemikir Muslim tradisionalis, tetapi juga dikalangan reformis. Salah seorang
yang paling menonjol di kalangan reformis adalah Nurcholis Madjid (Cak Nur).
Islam
terbuka terhadap budaya yang datang dari luar selama ia sejalan dengan
nilai-nilai dasar keislaman itu. Menurut Cak Nur, keterbukaan ini berdasarkan
doktrin bahwa Islam adalah agama yang universal. Pertama, Islam dalam makna
generiknya adalah sikap pasrah dan tunduk kepada Tuhan Yang Maha Benar, dan
ketundukan itu sebenarnya adalah kecenderungan alamiah manusia. Kedua, Islam
adalah agama semua nabi dan rasul, para penerima wahyu sepanjang sejarah.
Ketiga, Islam adalah agama alam semesta dalam arti bahwa seluruh alam ini
tunduk pada Tuhan yang telah menetapkan hukum-hukum alam.
Ada
lima jaminan dasar yang ingin diberikan oleh hukum Islam yaitu :
· Jaminan keselamatan fisik dari tindakan diluar hukum
· Jaminan kebebasan beragama
· Jaminan keselamatan keluarga dan keturunan
· Jaminan keselamatan harta atau hak milik
· Jaminan keselamatan profesi
Kelima
jaminan dasar ini menunjukkan adanya nilai-nilai kemanusiaan yang universal
dalam Islam. Dengan itu kebudayaan Islam bersifat cosmopolitan.
B.
Konsep Negara Menurut Mohammad Natsir
1.
Biografi
Mohammad Natsir
Salah
satu tokoh Indonesia yang memperjuangkan dan memberikan gagasan-gagasannya
tentang negara dalam perspektif Islam adalah Mohammad Natsir. Beliau lahir pada hari jumat
tanggal 17 Juli 1908 di kampung Jembatan Berukir Alahan Panjang, Kabupaten
Solok Sumatera Barat. Menurut Mohammad
Natsir, sumber otoritas kekuasaan dan legitimasi adalah Allah SWT. dan manusia
sebagai Khalifah atau pemimpin yang bertugas melaksanakan dan menegakkan
perintah dari pemegang kedaulatan.
Mohammad
Natsir dipercaya untuk menduduki jabatan-jabatan penting di Republik Indonesia,
seperti Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BK KNIP).
Mohammad Natsir juga merupakan salah satu tokoh yang selama penyusunan UUD
tahun 1956-1959 dalam Majelis Konstituante menyuarakan penegakan syariat Islam
di Indonesia. Dalam sebuah artikel Islam sebagi dasar negara, ia mengaku bahwa
dalam Islam tidak ada perintah untuk mendirikan suatu negara Islam oleh
Rasulullah. Namun, ia juga menyatakan penolakannya terhadap gagasan sekularisme
dengan menegaskan bahwa paham sekularisasi tidak sejalan dengan jalan pikiran
bangsa kita yang beragama.
Persoalan
politik Islam tidak bisa dilepaskan dari sejarah Islam yang
multi-interpretatif. Beberapa intelektual Muslim memberikan pandangannya
terhadap persoalan tersebut dari perspektif masing-masing. Teori-teori tersebut
secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga paradigma mengenai konsepsi
negara dalam Islam, sebagai berikut:
Ø Paradigma Integratif
Dalam pandangan
integralistik, agama dan negara menyatu (integral). Islam adalah agama yang
sempurna dan lengkap dengan peraturan bagi segala aspek kehidupan manusia,
termasuk kehidupan berpolitik dan beragama. Dalam perspektif paradigm
integralistik, kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan politik.
Pemerintahan dilaksanakan atas dasar kedaulatan Ilahi karena pendukung ini
meyakini bahwa kedaulatan berasal dan berbeda “di tangan Tuhan”.
Paradigma
inilah yang kemudian melahirkan paham negara agama, dimana kehidupan keagamaan
diatur dengan menggunakan prinsip-prinsip keagamaan sehingga melahirkan konsep
Islam agama dan negara. Oleh karena itu, dalam paham ini rakyat yang menaati
segala ketentuan negara berarti ia taat pada agama.
Ø Paradigma Simbolik
Agama dan
negara, menurut paradigma ini, memiliki hubungan yang bersifat timbal balik dan
saling memerlukan. Dalam hal ini, agama memerlukan negara karena dengan negara,
agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara juga memerlukan agama karena dengan
agama, negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral spiritual.
Dalam konsep
ini, syariah (hukum Islam) menempati posisi sentral sebagai sumber legitimasi
terhadap realitas politik. Demikian juga, negara mempunyai peranan besar untuk
menegakkan hukum Islam. Dengan demikian, tampak adanya kehendak untuk mewarnai
hukum-hukum negara dengan hukum agama, bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa
hukum agama dijadikan sebagi hukum negara.
Ø Paradigma Sekuler
Paradigma ini
memisahkan agama dan negara sehingga negara tidak menjadikan agama sebagai
instrument tertentu. Dalam konteks Islam, pandangan ini menolak intervensi
Islam pada masalah politik dan kenegaraan.
Islam tidak
menetapkan suatu rezim pemerintah tertentu, tidak pula mendasarkan kepada kaum
Muslim suatu sistem pemerintahan tertentu melalui mana mereka harus diperintah,
tetapi Islam telah memberikan kita kebebasan mutlak untuk mengorganisasikan
negara sesuai dengan kondisi-kondisi intelektual, sosial, dan ekonomi yang kita
miliki dengan mempertimbangkan perkembangan sosial dan tuntutan zaman.
Keterlibatannya
dalam PRRI menyebabkan Mohammad Natsir ditahan oleh pemerintah Presiden
Soekarno selama tujuh tahun dan baru dibebaskan oleh pemerintah Ode Baru
beberapa waktu setelah pemerintah Presiden Soekarno jatuh. Hingga akhir
hayatnya ia menjadi ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, sebuah organisasi
sosial kagamaan yang tidak melibatkan diri secara langsung kedalam
peristiwa-peristiwa politik.
Mohammad
Natsir meninggal dunia pada tanggal 6 Februari 1993 bertepatan dengan 14
Sya’ban 1413 H. dalam usia 85 tahun. Pada akhir hayatnya inilah kemudian
pemerintah Orde Baru memberikan gelar Pahlawan Nasional kepadanya.
2.
Konsep
Negara Menurut Mohammad Natsir
Menurut
Mohammad Natsir, negara adalah suatu institusi yang mempunyai hak, tugas, dan
tujuan yang khusus. Pengertian institusi ini lebih lanjut diterangkan oleh
Mohammad Natsir sebagai suatu badan dan organisasi yang mempunyai tujuan khusus
serta dilengkapi oleh alat-alat material dan peraturan-peraturan tersendiri dan
diakui oleh umum. Menurutnya, sarat berdirinya suatu badan atau organisasi
tersebut ditentukan karena bertujuan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat
dibidang jasmani dan rohani, diakui oleh masyarakat, mempunyai alat-alat untuk
melaksanakan tujuan, mempunyai peraturan-peraturan dan norma dan niali-nilai
tertentu, berdasarkan paham hidup, mempunyai kedaulatan atas anggotanya dan
memberikan hukuman terhadap setiap pelanggaran atas peraturan-peraturan dan
norma-norma lainnya. Oleh karena itu, berdirinya sebuah negara sebagai sebuah
institusi haruslah memiliki wilayah, rakyat, pemerintah, kedaulatan, dan
Undang-Undang Dasar atau sumber hukum dan aturan-aturan lainnya yang tidak
tertulis.
Dengan
kedudukan tersebut, menurut Mohammad Natsir, institusi tersebut memiliki
cakupan sebagai berikut :
· Meliputi seluruh masyarakat dan segala institusi yang terdapat
didalamnya
· Mengikuti atau mempersatukan institusi-institusi tersebut dalam
suatu peraturan hukum
· Menjalankan koordinasi dan regulasi dari seluruh bagian-bagian
masyarakat
· Memiliki hak untuk memaksa anggota guna mengikuti
peraturan-peraturan dan hukum-hukum yang
ditentukan olehnya
· Mempunyai tujuan unuk memimpin, memberi bimbingan, dan memenuhi
kebutuhan masyarakat secara keseluruhan
Sebagaimana
dinyatakan oleh Mohammad Natsi bahwa tujuan utama dari berdirinya negara adalah
kesempurnaan berlakunya undang-undang Ilahi, baik yang berkenaan dengan perikehidupan
manusia dengan individu atau sebagai anggota masarakat, yang berkenaan dengan
kehidupan di dunia yang fana ini, maupun yang berhubungan dengan kehidupan
kelak di alam baka.
Pandangan
Mohammad Natsir didasarkan pada keyakinannya tentang tauhid yang menurutnya
mengandung dua sisi, yaitu habl min Allah (perhubungan antara manusia
dan Tuhan) dan habl min an nas (hubungan antara manusia dan manusia).
Mohammad Natsir memandang bahwa negara sebagai sesuatu yang perlu untuk
menegakkan perintah-perintah agama, namun eksistensinya adalah sebagai alat
belaka dan bukan lembaga keagamaan itu sendiri.
Adapun
proses berdirinya negara tersebut menurut Mohammad Natsir adalah karena adanya
keinginan dari kaum Muslim untuk melaksanakan perintah Allah SWT. Dengan berdirinya sebuah negara
tersebut yang merupakan organisasi Islam dalam suatu wilayah dapat memaksakan
kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan dapat
menetapkan tuhuan-tujuan dari kehidupan bersama.
3.
Kepala
Negara dan Wewenangnya
Membicarakan
masalah kepala negara berhubungan dengan bentuk negara dan pemerintahan.
Apabila pemerintahan berbentuk monarkhi, kepala negaranya dijabat secara
turun-temurun. Tetapi, jika pemerintahan berbentuk republik, rakyat menentukan
sendiri siapa dan bagaimana kepala negara yang diinginkannya itu.
Dalam
pemilihan kepala negara ini Mohammad
Natsir mengingatkan bahwa Islam tidak menyuruh dan tidak membiarkan orang
menyerahkan suatu urusan kepada orang yang bukan ahlinya, malah Islam mengancam
bahwa akan datanglah kerusakan dan bala bencana bila suatu urusan telah
diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya itu.
Dengan
demikian, kepala negara yang dipilih tersebut memperoleh kekuasaan dari rakyat
untuk menyelenggarakan pemerintahan yang sesuai dengan ketentuan Allah dan
Rasul-Nya serta mampu menjamin kepentingan seluruh rakyat. Mengenai gelar atau
penamaan kepala negara yang diberi kekuasaan itu sebagai khalifah, amirul
mukminin, presiden, atau yang lainnya menurut Mohammad Natsir bukanlah
menjadi persoalan utama. Yang penting adalah kepala negara tersebut sebagai ulilamri
kaum Muslim, sanggup bertindak dan peraturan-peraturan Islam dapat berjalan
dengan semestinya dalam susunan kenegaraan, baik dalam kaidah maupun dalam
praktik.
Adapun
sifat, tabiat, dan akhlaknya, seorang pemimpin bagi Mohammad Natsir merupakan
teladan bagi warga negaranya sehingga seorang pemimpin hendaknya menunjukkan
perilaku yang baik dalam kehidupan bermasyarakat. Syarat terakhir bagi seorang
pemimpin, yakni kecakapan untuk memegang kekuasaan yang diberikan kepadanya,
hal ini disebabkan oleh kekuasaan tersebut merupakan amanah yang harus
dijalankan secara adil dan jujur bagi kepentingan umum. Apabila tidak dapat
berlaku sesuai dengan yang diharapkan, pemimpin tersebut dapat diturunkan di
tengah masa kepemimpinannya sebelum masanya berakhir.
4.
Sumber
Kedaulatan dan Peranan Rakyat
Dalam
menjalankan pemerintahan, kepala negara mendapatkan kekuasaan dari rakyatnya
untuk melaksanakan keinginan mereka dalam menerapkan ajaran Al-Qur’an dan
sunnah Nabi. Sementara rakyat mempunyai hak untuk mengawasi dan mengevaluasi
kegiatan pemerintah, apakah dia berjalan pada jalan yang benar atau tidak rakyat memiliki hak untuk mengkritik
pemerintahannya pada saatnya bila pemerintah tetap melakukan kebijakan yang
menyimpang dari tuntunan Al-Qur’an dan sunnah Nabi, rakyat dapat menjatuhkan
sanksi pada pemerintahnya.
Menurut
Mohammad Natsir, sumber otoritas kekuasaan dan legitimasi adalah Allah SWT.
Legitimasi segala kekuasaan dikembalikan kepada Allah SWT. sebagai sumber
utama. Menurutnya Islam dapat menerima bentuk pemerintahan selama kehendak
rakyat sesuai dengan tuntunan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi.
Peran
rakyat dalam negara, menurut Mohammad Natsir adalah karena keinginan rakyat
guna menjamin keterauran hukum Ilahi sehingga dapat berjalan dengan baik.
Wewenang dari pemimpin tidaklah melekat, tetapi didelegasikan kepada manusia.
Ia tidak bebas untuk melakukan apa pun yang dikehendakinya, tetapi harus
bertindak sesuai dengan pengarahan dari Allah SWT. melalui tuntunan Al-Qur’an
dan contoh yang diberikan oleh Rasulullah
5.
Kedudukan
Lembaga Syura
Nilai
musyawarah dalam Islam adalah mengatur hidup, baik dalam masyarakat maupun
dalam hidup kenegaraan, harus dipelihara dan dihidup-hidupkan
Kedudukan
lemabaga syuro ini dalam Islam dianggap penting oleh Mohammada Natsir.
Hal ini disebabkan oleh karena adanya ketentuan dalam ajaran Islam supaya
mengatur urusan mengenai orang banyak, penguasa harus memperoleh keridaan dari
orang-orang yang diaturnya dan harus memusyawarahkan segala sesuatu mengenai
kehidupan dan kepentingan rakyat.
Ditetapkan
bahwa kepala negara wajib bermusyawarah dengan orang-orang yang patut dan layak
dibawanya bermusyawarah dalam urusan yang menyangkut umat, yakni dalam hal-hal
yang perlu dimusyawarahkan terlebih dahulu. Mengenai nama bagi pelaksanaan
musyawarah tersebut, Mohammad Natsir juga tidak memberikan nama yang pasti. Hal
ini diserahkan dengan leluasa pada ijtihad kita sendiri, asal permusyawaratan
atau syura itu ada berlaku.
Dalam
melakukan ijtihad ini Mohammad Natsir berpendapat bahwa tidak saja terbatas pada
kaum alim ulama, tetapi juga kaum intelektual dan pemimpin-pemimpin yang
dipercayai rakyatnya. Dalam pemikirannya, ijtihad memungkinkan suatu masyarakat
Islam dapat merumuskan cita-cita dan program sosial politik mereka dengan
memerhatikan keadaan lingkungan dan kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri
berdasarkan keadaan tempat dan masanya. Tanpa ijtihad, Islam akan kehilangan
relevansinya dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi dewasa ini.
6.
Mempertahankan
Islam dan Negara
Mohammad
Natsir menyatakan Islam berbeda dari agama-agama lain yang mengandung
peraturan-peraturan dan hukum-hukum kenegaraan, termasuk hukum perdata dan
pidana. Untuk melaksanakn hukum-hukum tersebut, diperlukan lembaga yang dengan
kekuasaannya dapat menjamin berlakunya hukum-hukum itu.
Dari
rangkaian karangan Mohammad Natsir, ia ingin menunjukkan kepada umat bahwa pada
dasarnya Islam memiliki aturan yang berhubungan dengan hukum kenegaraan dan
pidana serta muamalah yang semua itu merupakan bagian tak terpisahkan dari
Islam
7.
Sikap
terhadap Pancasila
Mohammad
Natsir menafsirkan pancasila hendaknya diberi jiwa sekuler (la diniyah).
Baginya, dasar negara yang tidak memenuhi syarat yang demikian itu tentulah
menempatkan negara terombang-ambing, labil, dan tidak duduk atas sendi-sendi
yang kokoh.
Bagi
Mohammad Natsir, jika pancasila tetap ingin menjadi Pure Concept, ia
tidak merupakan satu realiteit di dalam alam positif
8.
Peranan
dalam Konstituante
Pemimpin-pemimpin
Islam Indonesia dari semua golongan menjelang Proklamasi telah berusaha agar
pelaksanaan syariah diakui secara konstitusional dengan dicapainya suatu
kesepakatan antara wakil-wakil Islam dan para pemimpin Nasionalis yang netral
agama melalui piagam Jakarta.
Sementara
itu, Pemilihan Umum untuk membentuk Badan Konstituante baru terlaksana pada
tanggal 15 Deseember 1955 dibawah Kabinet Burhanuddin (Masyumi) dan Presiden
Soekarno melantik Konstituante pada tanggal 10 November 1956.
Perdebatan
sekitar dasar ideologis negara dalam konstituante berlangsung dari tanggal 11
November 1957-7 Desember 1957. Perdebatan tentang dasar negara dalam Majelis
Konstituante berlangsung sampai sidang yang terakhir pada tanggal 2 Juni 1959.
Dalam
majelis Konstituante tersebut, Mohammad Natsir menentang sekularisme yang telah
membuat gagasan-gagasan seperti yang ingin memeras Pancasila menjadi ekasila,
yakni gotong-royong, tanpa sila Ketuhanan atau mengganti sila Ketuhanan Yang
Maha Esa dengan kebebasan beragama seperti disuarakan oleh golongan komunis
mengalami kegagalan.
Keterliabatan
secara langsung Mohammad Natsir dengan problem konkret yang di hadapi bangsa
Indonesia dan umat Islam Indonesia menjadikannya seorang pemikir modern Islam
yang telah mampu meletakkan dasar-dasar Islam di Indonesia. Mohammad Natsir
mencoba menjawab kesulitan-kesulitan yang dihadapi umat Islam, dengan dasar
pemikirannya bahwa Islam amat dinamis untuk diterapkan pada setiap waktu dan
zaman. Kedinamisan pemikiran-pemikiran Mohammad Natsir tentang agama dan negara
dapat dibagi dalam beberapa periode.
Periode
yang pertaman adalah periode ketika Mohammad Natsir membangun polemik dengan
Soekarno pada sekitar tahun 1930 hingga tahun 1940 dan menghasilkan sebuah
polemik terbuka tentang pemikiran politik Islam.
Periode kedua pemikiran Mohammad Natsir
tentang dasar negara Islam lebih merupakan respons Mohammad Natsir terhadap
perkembangan politik Indonesia yang telah cukup membawa iklim politik yang
menyejukkan semua pihak.
Dalam
periode ketiga di Konstituante, Mohammad Natsir menunjukkan konsep pemikiran
politik Islamnya secara penuh, utuh, dan sekecil mungkin menghindarkan
kompromi.
Dengan
demikian, periode-periode pemikiran Mohammad Natsir tersebut menunjukkan
konsistensinya terhadap kedinamisan sistem-sistem Islam ke dalam sebuah negara
modern untuk disesuaikan dengan dinamika zaman. Konsep pemikiran itulah yang
menjadi cita-cita Mohammad Natsir dalam menyuarakan semangat nasionalisme.
Bagi
Mohammad Natsir, tanpa dasar negara Islam bangsa Indonesia bagaikan melompat
dari bumi tempat berpijak, ke ruang hampa fokus tak berhawa. Ia percaya
sepenuhnya bahwa negara adalah sebuah alat yang diperlukan untuk merealisasikan
ajaran-ajaran Islam ke dalam situasi yang konkret.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hikayat
para wali yang menyiarkan agama di Pulau Jawa sering dijadikan rujukan untuk
menunjukkan sikap akomodatif. Salah seorang yang paling menonjol di kalangan
reformis adalah Nurcholis Madjid (Cak Nur). Menurut Cak Nur, keterbukaan ini
berdasarkan doktrin bahwa Islam adalah agama yang universal. Pertama, Islam
dalam makna generiknya adalah sikap pasrah dan tunduk kepada Tuhan Yang Maha
Benar, dan ketundukan itu sebenarnya adalah kecenderungan alamiah manusia.
Kedua, Islam adalah agama semua nabi dan rasul, para penerima wahyu sepanjang
sejarah. Ketiga, Islam adalah agama alam semesta dalam arti bahwa seluruh alam
ini tunduk pada Tuhan yang telah menetapkan hukum-hukum alam.
Menurut
Mohammad Natsir, sarat berdirinya suatu badan atau organisasi ditentukan karena
bertujuan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat dibidang jasmani dan rohani,
diakui oleh masyarakat, mempunyai alat-alat untuk melaksanakan tujuan,
mempunyai peraturan-peraturan dan norma dan niali-nilai tertentu, berdasarkan
paham hidup, mempunyai kedaulatan atas anggotanya dan memberikan hukuman
terhadap setiap pelanggaran atas peraturan-peraturan dan norma-norma lainnya.
Bagi
Mohammad Natsir, tanpa dasar negara Islam bangsa Indonesia bagaikan melompat
dari bumi tempat berpijak, ke ruang hampa fokus tak berhawa. Ia percaya
sepenuhnya bahwa negara adalah sebuah alat yang diperlukan untuk merealisasikan
ajaran-ajaran Islam ke dalam situasi yang konkret.
DAFTAR PUSTAKA
Bashari,
Yanto dan Retno S. Sejarah Tokoh Bangsa. Yogyakarta: Pustaka Tokoh
Bangsa, 2005.
Hamid,
Abdul dan Yahya. Pemikiran Modern dalam Islam. Bandung: Pustaka Setia,
2010.
Hamka,
Natsir. Pahlawan Nasional dalam
Membincangkan Tokoh Bangsa
Bandung: Mizan, 2001.
Natsir, Mohammad. Capita Selecta. Jakarta: Bulan Bintang, 1954.Rais,
Amin. Islam di Indonesia Suatu ikhtiar mengaca diri. Jakarta: Sri
Gunting, 1998.
Natsir, Mohammad. Islam sebagai Dasar Negara. Bandung: Sega Arsy, 2004.
Nasution, Adnan Butung. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Study Kasus Sosio-Legal atas Konstituante. Jakarta: Gramedia, 1995.
Noer,
Deliar. Partai-Partai Islam di Pentas Nasional. Jakarta: Grafiti Pers,
1987.
Wahid,
Adurrahman. Pribumisasi Islam dalam Muntaha Azhari & Abdul Munim
saleh, Islam Indonesia Menatap Masa Depan. Jakarta: P3M, 1989.
Wahid,
Marzuki dan Ruamaidi. Fiqh Madzhab Negara. Yogyakarta: LKIS, 2001.