Blogger Widgets

music

Selasa, 14 Juli 2015

Artikel Teori Seksualitas

Teori tentang seksualitas
Dalam teorinya ini Freud menekankan bahwa seksualitas seorang manusia mempunyai sejarah yang amat panjang yang sudah mulai dengan kelahiran. Umumnya seksualitas disamakan dengan fungsi perkembangbiakan atau – dengan perkataan lain – seksualitas dipandang dari segi genital saja. Freud memperlihatkan bahwa pengertian seksualitas mempunyai isi yang lebih kompleks.
Freud mengatakan bahwa anak-anak mempunyai kecondongan kearah beraneka ragam perverse seksual (polymorphously perverse sexual disposition). Maksudnya ialah bahwa-secara normal dan umum-pada anak-anak kita menyaksikan kecenderungan-kecenderungan yang sama yang pada orang dewasa diakui sebagai perversi-perversi, baik mengenai tujuan maupun mengenai pilihan obyek seksual. Itu berarti bahwa antara orang normal dan orang yang mengidap perverse tidak ada perbedaan hakiki. Pada orang yang mengalami perversi, kecenderungan-kecenderungan seksual dari masa anak itu telah terisolir, berhenti dalam perkembangannya, telah diperkuat dan menyatakan diri. Sedangkan pada orang normal kecenderungan-kecenderungan seksual dari masa anak itu telah berkembang dan sebagian menjadi unsur-unsur yang membentuk seksualitas genital, sebagian lagi telah disublimir. Freud menamakan neurosa sebagai sebelah negative daripada perversi. Maksudnya, ialah bahwa neurosa memperlihatkan perverse dalam bentuk terepresi.
Dalam perkembangan seksualitas anak kecil antara lain ada dua hal yang menjadi kentara. Pertama, berdasarkan perkembangan yang dialami seksualitas anak-anak tampaklah bahwa manusia bersifat bi-seksual; artinya perbedaan psikoseksual antara pria dan wanita merupakan buah hasil suatu perkembangan. Dalam pada itu bi-seksualitas tersebut dalam batas-batas tertentu ditunjukkan juga ditunjukkan oleh embriologi dan anatomi. Hal kedua yang tampak ialah bahwa fase-fase perkembangan berkaitan dengan zone-zone erogen yang berlain-lainan, masing-masing mulut, anus, penis atau klitoris (kelentit), dan paling akhir vagina. Sejauh naluri-naluri menyalurkan enersilibidinalnya melalui zone-zone erogen, dapat dibedakan fase oral, fase anal, fase falis dan akhirnya-sesudah suatu perkembangan yang panjang dan berbelit-belit-fase genital. Seksualitas anak kecil mula-mula berkisar pada dirinya sendiri (otoerotisme) dan lama-kelamaan mencari obyeknya di luar dirinya. Dengan demikian prioritas bidang genital ditinggalkan dan orang mengalami kepuasan seksual, terlepas dari bidang genital.
Dari situ berkembang apa yang disebut freud “kompleks Odipus”. Inti kompleks ini ialah bahwa keinginan aerotis anak laki-laki terarah pada ibunya, sedangkan permusuhan dilontarkan kepada ayah yang dialami sebagai saingan. Dalam hal iini Freud menggaris bawahi ambivelansi perasaan yang menyertai kempleks Odipus. Dengan ambivelansi perasaan dimaksudkannya bahwa cinta akan ibu bisa saja bebarengan dengan agresivitas, sedagkan benci terhadap ayah dapat bercampur dengan simpati. Perlu ditekankan bahwa semua ini berlangsung pada taraf tak sadar.
Freud juga berpendapat bahwa pada pokoknya hal yang sama berlaku juga bagi anak perempuan lama-kelamaan anak-anak menemukan perbedaan anatomi antara kedua jenis kelamin. Hal ini mengakibatkan apa yang dialami oleh Freud sebagai “kompleks kastrasi”. Inti kompleks kastrasi ialah kecemasan anak laki-laki akan kehilangan apa yang dimilikinya, sedangkan anak perempuan menderita karena tidak memiliki. Jadi, kompleks kastrasi berkisar bahwa bayangan fantasi-berdasarkan perbedaan anatomi antara kedua jenis kelamin-bahwa anak laki-laki terancam bahwa akan “dikebiri”, sedangkan anak perempuan sudah mengalami nasib malang itu. Freud berpendapat bahwa bagian anak laki-laki kompleks kastrasi itu mengakhiri kompleks Odipus. Hal itu berlangsung sekitar umur enam tahun.
Dengan itu perkembangan masa anak-anak sudah selesai, lalu menyusul “periode latensi” atau  “periode teduh”. Suatu periode cukup panjang yang berlangsung sampai masa pubertas. Sepanjang oeriodeini aktivitas libidinal berkurang dan kita dapat mangamati suatu deseksualitas dalam pergaulan dengan orang-orang lain dan dalam hidup emosional si anak. Selama periode latensi ini ditumbunkan “tanggul-tanggul moral” untuk menguasai dan menyalurkan naluri-naluri dalam masa perkembangan yang berikut.

Seksualitas genital yang mempunyai persetubuhan sebagai tujuannya-kompleks Odipus sudah diatasi secara definitif. Remaja laki-laki mulai mengarahkan keinginannya kepada wanita lain daripada ibunya. Remaja perempuan masih terikat pada ayahnya sebagai model bagi pilihan obyeknya. Sebagian libido dapat disubmilir-berarti diberi tujuan lain daripada tujuan seksual-dan dengan demikian timbullah rasa persahabatan, solidraitas, dan lain sebagainya yang begitu penting bagi kehidupan sosial.