Blogger Widgets

music

Kamis, 26 November 2015

Makalah Pemikiran Modern Dalam Islam (PMDI)

CORAK ISLAM KEINDONESIAAN DAN
                           KONSEP NEGARA MENURUT MOHAMMAD NATSIR       

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pemikiran Modern Dalam Islam (PMDI)
Dosen pengampu : Dr. Hj. Umi Hanik, M.Ag






Di susun oleh:
                                             Nadia Nufida Aflaha             (933400613)
                                             Ririn Ernawati                        (933401613)


JURUSAN USHULUDDIN PROGRAM PSIKOLOGI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
KEDIRI
2015


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Pembaruan Islam di Nusantara barangkali tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa Islam sebagai agama yang berkembang dalam masyarakat terus-menerus mengalami pembaruan demi pembaruan. Adakalanya pembaruan itu menekankan pada keharusan mengikuti ajaran-ajaran ortodoks. Adakalanya pembaruan itu berupa gerakan pemurnian. Adakalanya pula pembaruan itu sebagai upaya menafsirkan kembali ajaran agama agar dapat berfungsi efektif dalam konteks zamannya.
Sejarah Bangsa Indonesia mencatat seorang tokoh bernama Mohammad Natsir. Dia adalah perdana menteri, tokoh politik, tokoh pergerakan, tokoh Islam, sekaligus tokoh pendidikan. Mohammad Natsir berpendapat, Islam bukanlah semata-mata suatu agama, tapi adalah suatu pandangan hidup yang meliputi soal-soal politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Sejarah perkembangan Islam menunjukkan bahwa negara dibutuhkan sebagai upaya untuk mengembangkan dakwah di muka bumi.
Perjalanan sejarah hubungan antara Islam dan politik tersebut tidak lepas dari permasalahan. Salah satu persoalan yang sangat penting dan menimbulkan kontroversi dalam wacana politik Islam adalah ketika Nabi Muhammad SAW. wafat dan tidak meninggalkan satu sunnah yang pasti bagaimana sistem penyelenggaraan negara itu. Ketidakjelasan dalam praktik peneyelenggaraan sistem kenegaraan inilah yang kemudian dalam perjalanan sejarah umat Islam, kita melihat selalu berubah-ubah.
Dengan wawasan politik dan agama yang luas, mengantarkan Mohammad Natsir untuk memimpin sidang Muktamar Alam Islami di Damaskus pada tahun 1957. Oleh karena itu, study tentang pemikiran dan aksi politik Islam Mohammad Natsir menjadi sangat menarik dan patut untuk diteliti secara mendalam dalam rangka memberikan kontribusi positif yang tinggi bagi upaya memahami format politik Islam di Indonesia dalam kaitannya dengan relasi Islam dan negara.

B.  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana corak Islam keindonesiaan?
2.      Bagaimana konsep negara menurut Mohammad Natsir?


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Corak Islam Keindonesiaan
Sejarah perkembangan Islam di Nusantara mengalami berbagai gelombang pembaruan. Dimulai dengan pengislaman awal antara abad ke-13 dan ke-15, Islam perlahan diserap oleh berbagai suku di negeri ini. Pada abad ke-17 dan ke-18, beberapa ulama yang telah belajar tradisi Islam di tanah suci kembali ke daerah asalnya dan umumnya berperan  sebagai penasihat penguasa lokal. Kemudian para ulama berusaha menggiring keislaman masyarakat ke jalur yang ortodoks. Selanjutnya, di awal abad ke-20, semangat pemurnian Islam juga merambah negeri ini.
Proses yang terus-menerus dan beragam itulah yang akhirnya membentuk corak Islam disuatu daerah. Soekarno adalah salah seorang tokoh yang cukup awal menyadari hal ini, ia mengamati perkembangan Islam di berbagai negara. Soekarno menganjurkan agar semangat kebangsaan (nasionalisme) harus dipupuk dan dijadikan dasar bagi pembentukan negara Indonesia pada kemudian hari, yakni Islam, sebagai dasar perekat tersebut.
1.    Islam, Budaya Lokal, dan Global
Hikayat para wali yang menyiarkan agama di Pulau Jawa sering dijadikan rujukan untuk menunjukkan sikap akomodatif tersebut. Berbagai upacara tradisional yang akar-akarnya mungkin dapat ditemukan dalam budaya pra-Islam tidak dibuang, tetapi disesuaikan dengan ajaran Islam. Meskipun akomodasi Islam terhadap budaya lokal sudah tumbuh dan berkembang sejak lama sekali, tapi artikulasi gagasan ini secara lebih jelas baru muncul di tangan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di awal 1980-an, yakni ketika ia menggulirkan ide Pribumi Islam.
Gagasan pribumi Islam sempat menimbulkan pro-kontra ketika muncul tuduhan bahwa Gus Dur menganjurkan perubahan Assalamualaikum menjadi Selamat Pagi. Pribumisasi Islam di negeri lain, termasuk Indonesia. Kedua sejarah itu membentuk sebuah sungai besar yang terus mengalir dan kemudian dimasuki lagi oleh kali cabangan sehingga sungai itu semakin membesar. Bergabungnya kali baru berarti masuknya air baru yang mengubah warna air yang telah ada. Bahkan, pada tahap berikutnya, aliran sungai ini mungkin terkena limbah industri yang sangat kotor. Namun, tetap merupakan sungai yang sama dari air yang lama. Maksud dari perumpamaan ini adalah bahwa proses pergulatan dengan kenyataan sejarah tidaklah mengubah Islam, tetapi hanya mengubah menifestasi dari kehidupan agama Islam.
Pentingnya pertimbangan budaya lokal jelas tidak hanya menjadi argument di kalangan pemikir Muslim tradisionalis, tetapi juga dikalangan reformis. Salah seorang yang paling menonjol di kalangan reformis adalah Nurcholis Madjid (Cak Nur).
Islam terbuka terhadap budaya yang datang dari luar selama ia sejalan dengan nilai-nilai dasar keislaman itu. Menurut Cak Nur, keterbukaan ini berdasarkan doktrin bahwa Islam adalah agama yang universal. Pertama, Islam dalam makna generiknya adalah sikap pasrah dan tunduk kepada Tuhan Yang Maha Benar, dan ketundukan itu sebenarnya adalah kecenderungan alamiah manusia. Kedua, Islam adalah agama semua nabi dan rasul, para penerima wahyu sepanjang sejarah. Ketiga, Islam adalah agama alam semesta dalam arti bahwa seluruh alam ini tunduk pada Tuhan yang telah menetapkan hukum-hukum alam.
Ada lima jaminan dasar yang ingin diberikan oleh hukum Islam yaitu :
·      Jaminan keselamatan fisik dari tindakan diluar hukum
·      Jaminan kebebasan beragama
·      Jaminan keselamatan keluarga dan keturunan
·      Jaminan keselamatan harta atau hak milik
·      Jaminan keselamatan profesi
Kelima jaminan dasar ini menunjukkan adanya nilai-nilai kemanusiaan yang universal dalam Islam. Dengan itu kebudayaan Islam bersifat cosmopolitan.

B.  Konsep Negara Menurut Mohammad Natsir
1.    Biografi Mohammad Natsir
Salah satu tokoh Indonesia yang memperjuangkan dan memberikan gagasan-gagasannya tentang negara dalam perspektif Islam adalah Mohammad Natsir. Beliau lahir pada hari jumat tanggal 17 Juli 1908 di kampung Jembatan Berukir Alahan Panjang, Kabupaten Solok Sumatera Barat. Menurut Mohammad Natsir, sumber otoritas kekuasaan dan legitimasi adalah Allah SWT. dan manusia sebagai Khalifah atau pemimpin yang bertugas melaksanakan dan menegakkan perintah dari pemegang kedaulatan.
Mohammad Natsir dipercaya untuk menduduki jabatan-jabatan penting di Republik Indonesia, seperti Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BK KNIP). Mohammad Natsir juga merupakan salah satu tokoh yang selama penyusunan UUD tahun 1956-1959 dalam Majelis Konstituante menyuarakan penegakan syariat Islam di Indonesia. Dalam sebuah artikel Islam sebagi dasar negara, ia mengaku bahwa dalam Islam tidak ada perintah untuk mendirikan suatu negara Islam oleh Rasulullah. Namun, ia juga menyatakan penolakannya terhadap gagasan sekularisme dengan menegaskan bahwa paham sekularisasi tidak sejalan dengan jalan pikiran bangsa kita yang beragama.
Persoalan politik Islam tidak bisa dilepaskan dari sejarah Islam yang multi-interpretatif. Beberapa intelektual Muslim memberikan pandangannya terhadap persoalan tersebut dari perspektif masing-masing. Teori-teori tersebut secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga paradigma mengenai konsepsi negara dalam Islam, sebagai berikut:
Ø Paradigma Integratif
Dalam pandangan integralistik, agama dan negara menyatu (integral). Islam adalah agama yang sempurna dan lengkap dengan peraturan bagi segala aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan berpolitik dan beragama. Dalam perspektif paradigm integralistik, kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan politik. Pemerintahan dilaksanakan atas dasar kedaulatan Ilahi karena pendukung ini meyakini bahwa kedaulatan berasal dan berbeda “di tangan Tuhan”.
Paradigma inilah yang kemudian melahirkan paham negara agama, dimana kehidupan keagamaan diatur dengan menggunakan prinsip-prinsip keagamaan sehingga melahirkan konsep Islam agama dan negara. Oleh karena itu, dalam paham ini rakyat yang menaati segala ketentuan negara berarti ia taat pada agama.
Ø Paradigma Simbolik
Agama dan negara, menurut paradigma ini, memiliki hubungan yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini, agama memerlukan negara karena dengan negara, agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara juga memerlukan agama karena dengan agama, negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral spiritual.
Dalam konsep ini, syariah (hukum Islam) menempati posisi sentral sebagai sumber legitimasi terhadap realitas politik. Demikian juga, negara mempunyai peranan besar untuk menegakkan hukum Islam. Dengan demikian, tampak adanya kehendak untuk mewarnai hukum-hukum negara dengan hukum agama, bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa hukum agama dijadikan sebagi hukum negara.
Ø Paradigma Sekuler
Paradigma ini memisahkan agama dan negara sehingga negara tidak menjadikan agama sebagai instrument tertentu. Dalam konteks Islam, pandangan ini menolak intervensi Islam pada masalah politik dan kenegaraan.
Islam tidak menetapkan suatu rezim pemerintah tertentu, tidak pula mendasarkan kepada kaum Muslim suatu sistem pemerintahan tertentu melalui mana mereka harus diperintah, tetapi Islam telah memberikan kita kebebasan mutlak untuk mengorganisasikan negara sesuai dengan kondisi-kondisi intelektual, sosial, dan ekonomi yang kita miliki dengan mempertimbangkan perkembangan sosial dan tuntutan zaman.
Keterlibatannya dalam PRRI menyebabkan Mohammad Natsir ditahan oleh pemerintah Presiden Soekarno selama tujuh tahun dan baru dibebaskan oleh pemerintah Ode Baru beberapa waktu setelah pemerintah Presiden Soekarno jatuh. Hingga akhir hayatnya ia menjadi ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, sebuah organisasi sosial kagamaan yang tidak melibatkan diri secara langsung kedalam peristiwa-peristiwa politik.
Mohammad Natsir meninggal dunia pada tanggal 6 Februari 1993 bertepatan dengan 14 Sya’ban 1413 H. dalam usia 85 tahun. Pada akhir hayatnya inilah kemudian pemerintah Orde Baru memberikan gelar Pahlawan Nasional kepadanya.
2.    Konsep Negara Menurut Mohammad Natsir
Menurut Mohammad Natsir, negara adalah suatu institusi yang mempunyai hak, tugas, dan tujuan yang khusus. Pengertian institusi ini lebih lanjut diterangkan oleh Mohammad Natsir sebagai suatu badan dan organisasi yang mempunyai tujuan khusus serta dilengkapi oleh alat-alat material dan peraturan-peraturan tersendiri dan diakui oleh umum. Menurutnya, sarat berdirinya suatu badan atau organisasi tersebut ditentukan karena bertujuan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat dibidang jasmani dan rohani, diakui oleh masyarakat, mempunyai alat-alat untuk melaksanakan tujuan, mempunyai peraturan-peraturan dan norma dan niali-nilai tertentu, berdasarkan paham hidup, mempunyai kedaulatan atas anggotanya dan memberikan hukuman terhadap setiap pelanggaran atas peraturan-peraturan dan norma-norma lainnya. Oleh karena itu, berdirinya sebuah negara sebagai sebuah institusi haruslah memiliki wilayah, rakyat, pemerintah, kedaulatan, dan Undang-Undang Dasar atau sumber hukum dan aturan-aturan lainnya yang tidak tertulis.
Dengan kedudukan tersebut, menurut Mohammad Natsir, institusi tersebut memiliki cakupan sebagai berikut :
·      Meliputi seluruh masyarakat dan segala institusi yang terdapat didalamnya
·      Mengikuti atau mempersatukan institusi-institusi tersebut dalam suatu peraturan hukum
·      Menjalankan koordinasi dan regulasi dari seluruh bagian-bagian masyarakat
·      Memiliki hak untuk memaksa anggota guna mengikuti peraturan-peraturan  dan hukum-hukum yang ditentukan olehnya
·      Mempunyai tujuan unuk memimpin, memberi bimbingan, dan memenuhi kebutuhan masyarakat secara keseluruhan
Sebagaimana dinyatakan oleh Mohammad Natsi bahwa tujuan utama dari berdirinya negara adalah kesempurnaan berlakunya undang-undang Ilahi, baik yang berkenaan dengan perikehidupan manusia dengan individu atau sebagai anggota masarakat, yang berkenaan dengan kehidupan di dunia yang fana ini, maupun yang berhubungan dengan kehidupan kelak di alam baka.
Pandangan Mohammad Natsir didasarkan pada keyakinannya tentang tauhid yang menurutnya mengandung dua sisi, yaitu habl min Allah (perhubungan antara manusia dan Tuhan) dan habl min an nas (hubungan antara manusia dan manusia). Mohammad Natsir memandang bahwa negara sebagai sesuatu yang perlu untuk menegakkan perintah-perintah agama, namun eksistensinya adalah sebagai alat belaka dan bukan lembaga keagamaan itu sendiri.
Adapun proses berdirinya negara tersebut menurut Mohammad Natsir adalah karena adanya keinginan dari kaum Muslim untuk melaksanakan perintah  Allah SWT. Dengan berdirinya sebuah negara tersebut yang merupakan organisasi Islam dalam suatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan dapat menetapkan tuhuan-tujuan dari kehidupan bersama.
3.    Kepala Negara dan Wewenangnya
Membicarakan masalah kepala negara berhubungan dengan bentuk negara dan pemerintahan. Apabila pemerintahan berbentuk monarkhi, kepala negaranya dijabat secara turun-temurun. Tetapi, jika pemerintahan berbentuk republik, rakyat menentukan sendiri siapa dan bagaimana kepala negara yang diinginkannya itu.
Dalam pemilihan kepala negara  ini Mohammad Natsir mengingatkan bahwa Islam tidak menyuruh dan tidak membiarkan orang menyerahkan suatu urusan kepada orang yang bukan ahlinya, malah Islam mengancam bahwa akan datanglah kerusakan dan bala bencana bila suatu urusan telah diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya itu.
Dengan demikian, kepala negara yang dipilih tersebut memperoleh kekuasaan dari rakyat untuk menyelenggarakan pemerintahan yang sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya serta mampu menjamin kepentingan seluruh rakyat. Mengenai gelar atau penamaan kepala negara yang diberi kekuasaan itu sebagai khalifah, amirul mukminin, presiden, atau yang lainnya menurut Mohammad Natsir bukanlah menjadi persoalan utama. Yang penting adalah kepala negara tersebut sebagai ulilamri kaum Muslim, sanggup bertindak dan peraturan-peraturan Islam dapat berjalan dengan semestinya dalam susunan kenegaraan, baik dalam kaidah maupun dalam praktik.
Adapun sifat, tabiat, dan akhlaknya, seorang pemimpin bagi Mohammad Natsir merupakan teladan bagi warga negaranya sehingga seorang pemimpin hendaknya menunjukkan perilaku yang baik dalam kehidupan bermasyarakat. Syarat terakhir bagi seorang pemimpin, yakni kecakapan untuk memegang kekuasaan yang diberikan kepadanya, hal ini disebabkan oleh kekuasaan tersebut merupakan amanah yang harus dijalankan secara adil dan jujur bagi kepentingan umum. Apabila tidak dapat berlaku sesuai dengan yang diharapkan, pemimpin tersebut dapat diturunkan di tengah masa kepemimpinannya sebelum masanya berakhir.
4.    Sumber Kedaulatan dan Peranan Rakyat
Dalam menjalankan pemerintahan, kepala negara mendapatkan kekuasaan dari rakyatnya untuk melaksanakan keinginan mereka dalam menerapkan ajaran Al-Qur’an dan sunnah Nabi. Sementara rakyat mempunyai hak untuk mengawasi dan mengevaluasi kegiatan pemerintah, apakah dia berjalan pada jalan yang benar atau tidak  rakyat memiliki hak untuk mengkritik pemerintahannya pada saatnya bila pemerintah tetap melakukan kebijakan yang menyimpang dari tuntunan Al-Qur’an dan sunnah Nabi, rakyat dapat menjatuhkan sanksi pada pemerintahnya.
Menurut Mohammad Natsir, sumber otoritas kekuasaan dan legitimasi adalah Allah SWT. Legitimasi segala kekuasaan dikembalikan kepada Allah SWT. sebagai sumber utama. Menurutnya Islam dapat menerima bentuk pemerintahan selama kehendak rakyat sesuai dengan tuntunan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi.
Peran rakyat dalam negara, menurut Mohammad Natsir adalah karena keinginan rakyat guna menjamin keterauran hukum Ilahi sehingga dapat berjalan dengan baik. Wewenang dari pemimpin tidaklah melekat, tetapi didelegasikan kepada manusia. Ia tidak bebas untuk melakukan apa pun yang dikehendakinya, tetapi harus bertindak sesuai dengan pengarahan dari Allah SWT. melalui tuntunan Al-Qur’an dan contoh yang diberikan oleh Rasulullah
5.    Kedudukan Lembaga Syura
Nilai musyawarah dalam Islam adalah mengatur hidup, baik dalam masyarakat maupun dalam hidup kenegaraan, harus dipelihara dan dihidup-hidupkan
Kedudukan lemabaga syuro ini dalam Islam dianggap penting oleh Mohammada Natsir. Hal ini disebabkan oleh karena adanya ketentuan dalam ajaran Islam supaya mengatur urusan mengenai orang banyak, penguasa harus memperoleh keridaan dari orang-orang yang diaturnya dan harus memusyawarahkan segala sesuatu mengenai kehidupan dan kepentingan rakyat.
Ditetapkan bahwa kepala negara wajib bermusyawarah dengan orang-orang yang patut dan layak dibawanya bermusyawarah dalam urusan yang menyangkut umat, yakni dalam hal-hal yang perlu dimusyawarahkan terlebih dahulu. Mengenai nama bagi pelaksanaan musyawarah tersebut, Mohammad Natsir juga tidak memberikan nama yang pasti. Hal ini diserahkan dengan leluasa pada ijtihad kita sendiri, asal permusyawaratan atau syura itu ada berlaku.
Dalam melakukan ijtihad ini Mohammad Natsir berpendapat bahwa tidak saja terbatas pada kaum alim ulama, tetapi juga kaum intelektual dan pemimpin-pemimpin yang dipercayai rakyatnya. Dalam pemikirannya, ijtihad memungkinkan suatu masyarakat Islam dapat merumuskan cita-cita dan program sosial politik mereka dengan memerhatikan keadaan lingkungan dan kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri berdasarkan keadaan tempat dan masanya. Tanpa ijtihad, Islam akan kehilangan relevansinya dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi dewasa ini.
6.    Mempertahankan Islam dan Negara
Mohammad Natsir menyatakan Islam berbeda dari agama-agama lain yang mengandung peraturan-peraturan dan hukum-hukum kenegaraan, termasuk hukum perdata dan pidana. Untuk melaksanakn hukum-hukum tersebut, diperlukan lembaga yang dengan kekuasaannya dapat menjamin berlakunya hukum-hukum itu.
Dari rangkaian karangan Mohammad Natsir, ia ingin menunjukkan kepada umat bahwa pada dasarnya Islam memiliki aturan yang berhubungan dengan hukum kenegaraan dan pidana serta muamalah yang semua itu merupakan bagian tak terpisahkan dari Islam
7.    Sikap terhadap Pancasila
Mohammad Natsir menafsirkan pancasila hendaknya diberi jiwa sekuler (la diniyah). Baginya, dasar negara yang tidak memenuhi syarat yang demikian itu tentulah menempatkan negara terombang-ambing, labil, dan tidak duduk atas sendi-sendi yang kokoh.
Bagi Mohammad Natsir, jika pancasila tetap ingin menjadi Pure Concept, ia tidak merupakan satu realiteit di dalam alam positif
8.    Peranan dalam Konstituante
Pemimpin-pemimpin Islam Indonesia dari semua golongan menjelang Proklamasi telah berusaha agar pelaksanaan syariah diakui secara konstitusional dengan dicapainya suatu kesepakatan antara wakil-wakil Islam dan para pemimpin Nasionalis yang netral agama melalui piagam Jakarta.
Sementara itu, Pemilihan Umum untuk membentuk Badan Konstituante baru terlaksana pada tanggal 15 Deseember 1955 dibawah Kabinet Burhanuddin (Masyumi) dan Presiden Soekarno melantik Konstituante pada tanggal 10 November 1956.
Perdebatan sekitar dasar ideologis negara dalam konstituante berlangsung dari tanggal 11 November 1957-7 Desember 1957. Perdebatan tentang dasar negara dalam Majelis Konstituante berlangsung sampai sidang yang terakhir pada tanggal 2 Juni 1959.
Dalam majelis Konstituante tersebut, Mohammad Natsir menentang sekularisme yang telah membuat gagasan-gagasan seperti yang ingin memeras Pancasila menjadi ekasila, yakni gotong-royong, tanpa sila Ketuhanan atau mengganti sila Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kebebasan beragama seperti disuarakan oleh golongan komunis mengalami kegagalan.
Keterliabatan secara langsung Mohammad Natsir dengan problem konkret yang di hadapi bangsa Indonesia dan umat Islam Indonesia menjadikannya seorang pemikir modern Islam yang telah mampu meletakkan dasar-dasar Islam di Indonesia. Mohammad Natsir mencoba menjawab kesulitan-kesulitan yang dihadapi umat Islam, dengan dasar pemikirannya bahwa Islam amat dinamis untuk diterapkan pada setiap waktu dan zaman. Kedinamisan pemikiran-pemikiran Mohammad Natsir tentang agama dan negara dapat dibagi dalam beberapa periode.
Periode yang pertaman adalah periode ketika Mohammad Natsir membangun polemik dengan Soekarno pada sekitar tahun 1930 hingga tahun 1940 dan menghasilkan sebuah polemik terbuka tentang pemikiran politik Islam.
 Periode kedua pemikiran Mohammad Natsir tentang dasar negara Islam lebih merupakan respons Mohammad Natsir terhadap perkembangan politik Indonesia yang telah cukup membawa iklim politik yang menyejukkan semua pihak.
Dalam periode ketiga di Konstituante, Mohammad Natsir menunjukkan konsep pemikiran politik Islamnya secara penuh, utuh, dan sekecil mungkin menghindarkan kompromi.
Dengan demikian, periode-periode pemikiran Mohammad Natsir tersebut menunjukkan konsistensinya terhadap kedinamisan sistem-sistem Islam ke dalam sebuah negara modern untuk disesuaikan dengan dinamika zaman. Konsep pemikiran itulah yang menjadi cita-cita Mohammad Natsir dalam menyuarakan semangat nasionalisme.
Bagi Mohammad Natsir, tanpa dasar negara Islam bangsa Indonesia bagaikan melompat dari bumi tempat berpijak, ke ruang hampa fokus tak berhawa. Ia percaya sepenuhnya bahwa negara adalah sebuah alat yang diperlukan untuk merealisasikan ajaran-ajaran Islam ke dalam situasi yang konkret.


BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Hikayat para wali yang menyiarkan agama di Pulau Jawa sering dijadikan rujukan untuk menunjukkan sikap akomodatif. Salah seorang yang paling menonjol di kalangan reformis adalah Nurcholis Madjid (Cak Nur). Menurut Cak Nur, keterbukaan ini berdasarkan doktrin bahwa Islam adalah agama yang universal. Pertama, Islam dalam makna generiknya adalah sikap pasrah dan tunduk kepada Tuhan Yang Maha Benar, dan ketundukan itu sebenarnya adalah kecenderungan alamiah manusia. Kedua, Islam adalah agama semua nabi dan rasul, para penerima wahyu sepanjang sejarah. Ketiga, Islam adalah agama alam semesta dalam arti bahwa seluruh alam ini tunduk pada Tuhan yang telah menetapkan hukum-hukum alam.
Menurut Mohammad Natsir, sarat berdirinya suatu badan atau organisasi ditentukan karena bertujuan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat dibidang jasmani dan rohani, diakui oleh masyarakat, mempunyai alat-alat untuk melaksanakan tujuan, mempunyai peraturan-peraturan dan norma dan niali-nilai tertentu, berdasarkan paham hidup, mempunyai kedaulatan atas anggotanya dan memberikan hukuman terhadap setiap pelanggaran atas peraturan-peraturan dan norma-norma lainnya.
Bagi Mohammad Natsir, tanpa dasar negara Islam bangsa Indonesia bagaikan melompat dari bumi tempat berpijak, ke ruang hampa fokus tak berhawa. Ia percaya sepenuhnya bahwa negara adalah sebuah alat yang diperlukan untuk merealisasikan ajaran-ajaran Islam ke dalam situasi yang konkret.



DAFTAR PUSTAKA

Bashari, Yanto dan Retno S. Sejarah Tokoh Bangsa. Yogyakarta: Pustaka Tokoh Bangsa, 2005.
Hamid, Abdul dan Yahya. Pemikiran Modern dalam Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Hamka, Natsir. Pahlawan Nasional dalam Membincangkan Tokoh Bangsa Bandung: Mizan, 2001.
Natsir, Mohammad. Capita Selecta. Jakarta: Bulan Bintang, 1954.Rais, Amin. Islam di Indonesia Suatu ikhtiar mengaca diri. Jakarta: Sri Gunting, 1998.
Natsir, Mohammad. Islam sebagai Dasar Negara. Bandung: Sega Arsy, 2004.
Nasution, Adnan Butung. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Study Kasus Sosio-Legal atas Konstituante. Jakarta: Gramedia, 1995.
Noer, Deliar. Partai-Partai Islam di Pentas Nasional. Jakarta: Grafiti Pers, 1987.
Wahid, Adurrahman. Pribumisasi Islam dalam Muntaha Azhari & Abdul Munim saleh, Islam Indonesia Menatap Masa Depan. Jakarta: P3M, 1989.
Wahid, Marzuki dan Ruamaidi. Fiqh Madzhab Negara. Yogyakarta: LKIS, 2001.

Sabtu, 21 November 2015

Makalah Psikologi Kognitif

PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “psikologi kognitif”
Dosen pengampu





Di susun oleh:
                                             Binti Rahayu                          ( 933400413 )
                                             Nur Fauziah                            ( 933401113 )
                                             Nadia Nufida Aflaha             ( 933400613 )
                                             Vegaro Isma Anjarsari           ( 933401813 )
                                             M. Tashilul Manasik              ( 933404612 )


JURUSAN USHULUDDIN PROGRAM PSIKOLOGI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
KEDIRI
2015


BAB  I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Keputusan merupakan kesimpulan terbaik yang diperoleh setelah mengevaluasi berbagai alternatif. Di dalam arti tersebut, terkandung unsur situasi dasar, peluang munculnya situasi dasar, dan aktifitas pencapaian keputusan. Pengambil keputusan yang baik mengidentifikasi keuntungan dan resiko dari setiap pilihan yang ada,  menggunakan setiap bukti (informasi) yang tersedia untuk menentukan bobot tiap pilihan secara logis, dan kemudian memutuskannya.
Secara umum pengambilan keputusan adalah upaya untuk menyelesaikan masalah dengan memilih alternatif solusi yang ada.  Sebagai seni, PK adalah proses mengambil keputusan pada situasi dan kondisi yang berbeda (karena adanya keragaman yang bersifat unik). Sebagai ilmu, PK adalah suatu aktivitas yang memiliki metode, cara, dan pendekatan tertentu secara sistematis, teratur dan terarah.
Salah satu wujud pelibatan masyarakat dalam proses politik adalah pemilihan umum (pemilu). Pemilu merupakan sarana bagi masyarakat untuk ikut menentukan figur dan arah kepemimpinan negara atau daerah dalam periode tertentu. Ketika demokrasi mendapat perhatian yang luas dari masyarakat dunia, penyelenggaraan pemilu yang demokratis menjadi syarat penting dalam pembentukan kepemimpinan sebuah negara. Pemilu memiliki fungsi utama untuk menghasilkan kepemimpinan yang benar-benar mendekati kehendak rakyat. Oleh karena itu, pemilu merupakan salah satu sarana legitimasi kekuasaan.
Pemilu dapat dikatakan aspiratif dan demokratis apabila memenuhi beberapa persyaratan. Pertama, pemilu harus bersifat kompetitif, dalam artian peserta pemilu harus bebas dan otonom. Kedua, pemilu yang diselenggarakan secara berkala, dalam artian pemilu harus diselenggarakan secara teratur dengan jarak waktu yang jelas. Ketiga, pemilu harus inklusif, artinya semua kelompok masyarakat harus memiliki peluang yang sama untuk berpartisipasi dalam pemilu. Tidak ada satu pun kelompok yang diperlakukan secara diskriminatif dalam proses pemilu. Keempat, pemilih harus diberi keleluasaan untuk mempertimbangkan dan mendiskusikan alternatif pilihannya dalam suasana bebas, tidak di bawah tekanan, dan akses memperoleh informasi yang luas. Kelima, penyelenggara pemilu yang tidak memihak dan independen.


BAB II
PEMBAHASAN
A.  Definisi Pengambilan Keputusan.
Pengambilan keputusan adalah harapan akan terciptanya suatu hasil yang baik. Oleh karena itu, banyak tokoh yang mendefinisikian pengambilan keputusan , diantaranya[1] :
1)   Greebegh dan Baroon  (2006) mendifinisikan pengambilan keutusan sebagai proses membuat pilihan diantara beberapa pilihan.
2)   Sweeny dan Mc Farlin (2002) mendefinisikan pengambilan keputusan sebagai proses dalam mengevaluasi satu atau lebih pilihan dengan tujuan untuk meraih hasil terbaik yang diharapkan.
3)   Kinicki dan kreitner (2003) mendifinisikan pengambilan keputusan sebagai proses mengidentifikasi dan memilih solusi yang mengarah kepada hasil yang diinginkan.
Pada intinya Pengambilan keputusan (desicion making) adalah melakukan penilaian dan menjatuhkan pilihan melalui beberapa perhitungan dan pertimbangan hingga mencapai pada keputusan terbaik. Sebelum pilihan dijatuhkan, ada beberapa tahap yang mungkin akan dilalui oleh pembuat keputusan. Tahapan tersebut bisa saja meliputi identifikasi masalah utama, menyusun alternatif yang akan dipilih dan sampai pada pegambilan keputusan yang terbaik.

B.  Teori Pengambilan Keputusan
Kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh seorang aktor atau beberapa aktor berkenaan dengan suatu masalah. Tindakan para aktor kebijakan dapat berupa pengambilan keputusan yang biasanya bukan merupakan keputusan tunggal, artinya kebijakan diambil dengan cara mengambil beberapa keputusan yang saling terkait dengan masalah yang ada. Pengambilan keputusan dapat diartikan sebagai pemilihan alternatif terbaik dari beberapa pilihan alternatif yang tersedia. Ada beberapa teori yang paling sering digunakan dalam mengambil kebijakan yaitu :
1.    Teori Rasional Komprehensif
Barangkali toari pengambilan keputusan yang biasa digunakan dan diterima oleh banyak kalangan adalah teori rasional komprehensif yang mempunyai beberapa unsur:
a)    Pembuatan keputusan dihadapkan pada suatu masalah tertentu yang dapat dibedakan dari masalah-masalah lain atau setidaknya dinilai sebagai masalah-masalah yang dapat diperbandingkan satu sama lain (dapat diurutkan menurut prioritas masalah)
b)   Tujuan-tujuan, nilai-nilai atau sasaran yang menjadi pedoman pembuat keputusan sangat jelas dan dapat diurutkan prioritasnya/kepentingannya.
c)    Bermacam-macam alternatif untuk memecahkan masalah diteliti secara saksama.
d)   Asas biaya manfaat atau sebab-akibat digunakan untuk menentukan prioritas.
e)    Setiap alternatif dan implikasi yang menyertainya dipakai untuk membandingkan dengan alternatif lain.
f)    Pembuat keputusan akan memilih alternatif terbaik untuk mencapai tujuan, nilai, dan sasaran yang ditetapkan.
Ada beberapa ahli antara lain Charles Lindblom , 1965 (Ahli Ekonomi dan Matematika) yang menyatakan bahwa pengambilan keputusan itu sebenarnya tidak berhadapan dengan masalah-masalah yang konkrit akan tetapi mereka seringkali mengambil keputusan yang kurang tepat terhadap akar permasalahan.
Teori rasional komprehensif ini menuntut hal-hal yang tidak rasional dalam diri pengambil keputusan. Asumsinya adalah seorang pengambil keputusan memiliki cukup informasi mengenahi berbagai alternatif sehingga mampu meramalkan secara tepat akibat-akibat dari pilihan alternatif yang ada, serta memperhitungkan asas biaya manfaatnya.dan mempertimbangkan banyak masalah yang saling berkaitan
Pengambil keputusan sering kali memiliki konflik kepentingan antara nilai-nilai sendiri dengan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat. Karena teori ini mengasumsikan bahwa fakta-fakta dan nilai-nilai yang ada dapat dibedakan dengan mudah, akan tetapi kenyataannya sulit membedakan antara fakta dilapangan dengan nilai-nilai yang ada.
Ada beberapa masalah diperbagai negara berkembang seperti Indonesia untuk menerapkan teori rasional komprehensif ini karena beberapa alasan yaitu:
y    Informasi dan data statistik yang ada tidak lengkap sehingga tidak bisa dipakai untuk dasar pengambilan keputusan. Kalau dipaksakan maka akan terjadi sebuah keputusan yang kurang tepat.
y    Teori ini diambil/diteliti dengan latar belakang berbeda dengan nagara berkembangekologi budanyanya berbeda.
y    Birokrasi dinegara berkembang tidak bisa mendukung unsur-unsur rasional dalam pengambilan keputusan, karena dalam birokrasi negara berkembang kebanyakan korup sehingga menciptakan hal-hal yang tidak rasional.
2.    Teori Inkremental
Teori ini dalam mengambil keputusan dengan cara menghindari banyak masalah yang harus dipertimbangkan dan merupakan madel yang sering ditempuh oleh pejabat-pejabat pemerintah dalam mengambail keputusan. Teori ini memiliki pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
a)    Pemilihan tujuan atau sasaran dan analisis tindakan empiris yang diperlukan untuk mencapanya merupakan hal yang saling terkait.
b)   Pembuat keputusan dianggap hanya mempertimbangkan beberapa alternatif yang langsung berhubungan dengan pokok masalah, dan alternatif-alternatif ini hanya dipandang berbeda secara inkremental atau marjinal.
c)    Setiap alternatif hanya sebagian kecil saja yang dievaluasi mengenahi sebab dan akibatnya.
d)   Masalah yang dihadapi oleh pembuat keputusan di redifinisikan secara teratur dan memberikan kemungkinan untuk mempertimbangkan dan menyesuaikan tujuan dan sarana sehingga dampak dari masalah lebih dapat ditanggulangi.
e)    Tidak ada keputusan atau cara pemecahan masalah yang tepat bagi setiap masalah.Sehingga keputusan yang baik terletak pada berbagai analisis yang mendasari kesepakatan guna mengambil keputusan.
f)    Pembuatan keputusan inkremental ini sifatnya dalah memperbaiki atau melengkapi keputusan yang telah dibuat sebelumnya guna mendapatkan penyempurnaan.
Karena diambil berdasarkan berbagai analisis maka sangat tepat diterapkan bagi negara-negara yang memiliki struktur mejemuk. Keputusan dan kebijakan diambil dengan dasar saling percaya diantara berbagai pihak sehingga secara politis lebih aman. Kondisi yang realistik diberbagi negara bahwa dalam menagmbil keputusan/kebijakan para pengambil keputusan dihadapkan pada situasi kurang baik seperti kurang cukup waktu, kurang pengalaman, dan kurangnya sumber-sumber lain yang dipakai untuk analsis secara komprehensif.
Teori ini dapat dikatakan sebagai model pengambilan keputusan yang membuahkan hasil terbatas, praktis dan dapat diterima. Ada beberapa kelemahan dalam teori inkremental ini:
y    Keputusan–keputusan yang diambil akan lebih mewakili atau mencerminkan kepentingan dari kelompok yang kuat dan mapan sehingga kepentingan kelompok lemah terabaikan.
y    Keputusan diambil lebih ditekankan kepada keputusan jangka pendek dan tidak memperhatikan berbagai macam kebijakan lain.
y    Dinegara berkembang teori ini tidak cocok karena perubahan yang inkremental tidak tepat karena negara berkembang lebih membutuhkan perubahan yang besar dan mendasar.
y    Menutut Yehezkel Dror (1968) gaya inkremental dalam membuat keputusan cenderung menghasilkan kelambanan dan terpeliharanya status quo.
3.    Teori Pengamatan Terpadu (Mixed Scaning Theory)
Beberapa kelemahan tersebut menjadi dasar konsep baru yaitu seperti yang dikemukakan oleh ahli sosiologi organisasi Aitai Etzioni yaitu pengamatan terpadu (Mixid Scaning) sebagai suatu pendektan untuk mengambil keputusan baik yang bersifat fundamental maupun inkremental. Keputusan-keputusan inkremental memberikan arahan dasar dan melapangkan jalan bagi keputusan-keputusan fundamental sesudah keputusan-keputusan itu tercapai.
Model pengamatan terpadu menurut Etzioni akan memungkinkan para pembuat keputusan menggunakan teori rasional komprehensif dan teori inkremental pada situasi yang berbeda-beda.
Model pengamatan terpadu ini pada hakikatnya merupakan pendekatan kompromi yang menggabungkan pemanfaatan model rasional komprehensif dan model inkremental dalam proses pengambilan keputusan.[2]

C.  Kriteria Pengambilan Keputusan
Menurut konsepsi Anderson, nilai-nilai yang kemungkinan menjadi pedoman perilaku para pembuat keputusan itu dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) kategori, yaitu:
1.    Nilai-nilai Politik
Pembuat keputusan mungkin melakukan penilaian atas altematif kebijaksanaan yang dipilihnya dari sudut pentingnya altematif-altematil itu bagi partai politiknya atau bagi kelompok-kelompok klien dari badan atau organisasi yang dipimpinnya. Keputusan-keputusan yang lahir dari tangan para pembuat keputusan seperti ini bukan mustahil dibuat demi keuntungan politik’ dan kebijaksanaan dengan demikian akan dilihat sebagai instrumen untuk memperluas pengaruh-pengaruh politik atau untuk mencapai tujuan dan kepentingan dari partai politik atau tujuan dari kelompok kepentingan yang bersangkutan.
2.    Nilai-nilai organisasi
Para pembuat kepurusan, khususnya birokrat (sipil atau militer), mungkin dalam mengambil keputusan dipengaruhi oleh nilai-nilai organisasi di mana ia terlibat di dalamnya’ Organisasi, semisal badan-badan administrasi, menggunakan berbagai bentuk ganjaran dan sanksi dalam usahanya untuk memaksa para anggotanya menerima, dan bertindak sejalan dengan nilai-nilai yang telah digariskan oleh organisasi. Sepanjang nilai-nilai semacam itu ada, orang-orang yang bertindak selaku pengambil keputusan dalam organisasi itu kemungkinan akan dipedomani oleh pertimbangan-pertimbangan semacam itu sebagai perwujudan dari hasrat untuk melihat organisasinya tetap lestari, unuk tetap maju atau untuk memperlancar program-program dan kegiatan-kegiatannya atau atau untuk mempertahankan kekuasaan dan hak-hak istimewa yang selama ini dinikmati.
3.    Nilai-nitai Pribadi
Hasrat untuk melindungi atau memenuhi kesejateraan atau kebutuhan fisik atau kebutuhan finansial’ reputasi diri, atau posisi historis kemungkinan juga digunakan- oleh para pembuat teputusan sebagai kriteria dalam pengambilan keputusan.
Para politisi yang menerima uang sogok untuk membuat kepurusan tertentu yang menguntungkan si pemberi uang sogok, misalnya sebagai hadiah pemberian perizinan atau penandatanganan kontrak pembangunan proyek tertentu, jelas mempunyai kepentingan pribadi dalam benaknya. Seorang presiden yang mengatakan di depan para wartawan bahwa ia akan menggebut siapa saja yang bertindak inkonstirusional, jelas juga dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan pribadinya’misalnya agar ia mendapat tempat terhormat dalam sejarah bangsa sebagai seseorang yang konsisten dan nasionalis.
4.    Nilai-nilai Kebijaksanaan
Dari perbincangan di atas, satu hal hendaklah dicamkan, yakni janganlah kita mempunyai anggapan yang sinis dan kemudian menarik kesimpulan bahwa para pengambil keputusan politik inr semata-mata hanyalah dipengaruhi oleh pertimbangan-penimbangan demi keuntungan politik, organisasi atau pribadi. Sebab, para pembuat keputusan mungkin pula bertindak berdasarkan atas penepsi mereka terhadap kepentingan umum atau keyakinan tertentu mengenai kebijaksanaan negara apa yang sekiranya secara moral tepat dan benar. Seorang wakil rakyat yang mempejuangkan undang-undang hak kebebasan sipil mungkin akan bertindak sejalan dengan itu karena ia yakin bahwa tindakan itulah yang secara moral benar, dan bahwa persamaan hak-hak sipil itu memang merupakan tujuan kebijaksanaan negara yang diinginkan, tanpa mempedulikan bahwa perjuangan itu mungkin akan menyebabkannya mengalami resiko-resiko politik yang fatal.
5.    Nilai-nilai Ideologis
Ideologi pada hakikatnya merupakan serangkaian nilai-nilai dan keyakinan yang secara logis saling berkaitan yang mencerminkan gambaran sederhana mengenai dunia serta berfungsi sebagai pedoman benindak bagi masyarakat yang meyakininya. Di berbagai negara sedang berkembang di kawasan Asia, Afrika dan Timur Tengah nasionalisme yang mencerminkan hasrat dari orang-orang atau bangsa yang bersangkutan untuk merdeka dan menentukan nasibnya sendiri — telah memberikan peran penting dalam mewamai kebijaksanaan luar negeri maupun dalam negeri mereka. Pada masa gerakan nasional menuju kemerdekaan, nasionalisme telah berfungsi sebagai minyak bakar yang mengobarkan semangat perjuangan bangsa-bangsa di negara-negara sedang berkembang melawan kekuatan kolonial.
Di Indonesia, ideologi Pancasila setidaknya bila dilihat dari sudut perilaku politik regim, telah berfungsi sebagai resep untuk melaksanakan perubahan sosial dan ekonomi. Bahkan ideologi ini kerapkali juga dipergunakan sebagai instrumen pengukur legitimasi bagi partisipasi politik atau partisipasi dalam kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok dalam masyarakat (Abdul Wahab, Solichin, 1987).

D.  Fungsi Dan Tujuan Pengambilan Keputusan
Fungsi Pengambilan Keputusan
Individual atau kelompok baik secara institusional ataupun organisasional, sifatnya futuristik.
Tujuan Pengambilan Keputusan
Tujuan yang bersifat tunggal (hanya satu masalah dan tidak berkaitan dengan masalah lain).
Tujuan yang bersifat ganda (masalah saling berkaitan, dapat bersifat kontradiktif ataupun tidak kontradiktif)[3]

E.  Langkah-langkah Pengambilan Keputusan
Marquis dan Hutson (2010) menyebutkan untuk meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan, perlu digunakan model proses sebagai dasar teori untuk memahami dan mengaplikasikan ketrampilan berfikir kritis. Ada lima langkah kritis dalam penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan, yaitu:
1.    Penetapan tujuan, penetapan tujuan harus jelas dan konsisten dengan masalah apa yang sedang terjadi. Handoko (2009) mengemukakan hal pertama yang harus dilakukan seorang yang akan mengambil keputusan adalah menemukan dan memahami masalah untuk diselesaikan agar perumusan masalah menjadi jelas.
2.    Mengumpulkan data secara cermat, setelah menentukan atau merumuskan masalah dan tujuan, kemudian pengumpulan data dimulai dengan mengidentifikasi masalah. Ketika mengumpulkan data atau informasi, seseorang harus berhati-hati agar data yang dimilikinya tidak salah fakta (Marquis & Huston, 2010).
3.    Membuat banyak alternatif, Semakin banyak alternatif yang dapat dibuat dalam penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan, semakin besar kesempatan menghasilkan keputusan akhir. Menurut Handoko (2009) setelah membuat alternatif keputusan, seseorang harus mengevakuasi alternatif tersebut untuk menilai keefektifitasannya, dan langkah selanjutnya adalah memilih alternatif terbaik yang akan digunakan dalam pengabilan keputusan.
4.    Berfikir logis, selama proses penyelesaian masalah, seseorangharus menarik simpulan informasi dan mempertimbangkan informasi serta alternatif secara cermat. Kesalahan berlogika pada titik ini akan mengarahkan pada kualitas keputusan yang buruk. Ada beberapa cara berpikir yang tidak logis, seperti: terlalu menggeneralisasikan, afirmasi konsekuensi, dan berargumen dengan analogi (Marquis & Huston, 2010)
5.    Memilih dan bertindak secara efektif, mengumpulkan informasi yang akurat, berpikir logis, memilih diantara banyak alternatif, dan memahami nilai-nilai individu tidaklah cukup. Dalam analisis akhir, seseorang harus bertindak. Banyak orang yang menunda untuk bertindak karena mereka kurang berani untuk menghadapi konsekuensi pilihan yang mereka ambil (Marquis & Huston, 2010). Pada tahap ini seseorang perlu memperhatikan berbagai resiko dan ketidakpastian sebagai konsekuensi keputusan yang telah dibuat, karena dengan mengambil langkah tersebut seseorang dapat menentukan kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk mengambil keputusan.

F.   Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan
Menurut John D. Miller dalam Imam Murtono (2009) faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam menjelaskan faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan adalah: jenis kelamin pria atau wanita, peranan pengambilan keputusan, dan keterbatasan kemampuan.
Dalam pengambilan suatu keputusan individu dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu nilai individu, kepribadian, dan kecenderungan dalam pengambilan resiko, yaitu :
1.    Nilai individu pengambilan keputusan merupakan keyakinan dasar yang digunakan seseorang jika ia dihadapkan pada permasalahan dan harus mengambil suatu keputusan. Nilai-nilai ini telah tertanam sejak kecil melaluisuatu proses belajar dari lingkungan keluarga dan masyarakat. Dalam banyak keadaan individu bahkan tidak berfikir untuk menyusun atau menilai keburukan dan lebih ditarik oleh kesempatan untuk menang.
2.    Kepribadian. Keputusan yang diambil seseorang juga dipengaruhi oleh faktor psikologis seperti kepribadian. Dua variable utama kepribadian yang berpengaruh terhadap keputusan yang dibuat, seperti ideologi versus kekuasaan dan emosional versus obyektivitas. Beberapa pengambil keputusan memiliki suatu orientasi ideologi tertentu yang berarti keputusan dipengaruhi oleh suatu filosofi atau suatu perangkat prinsip tertentu. Sementara itu pengambil keputusan atau orang lain mendasarkan keputusannya pada suatu yang secara politis akan meningkatkan kekuasaannya secara pribadi.
3.    Kecenderungan terhadap pengambilan resiko. Untuk meningkatkan kecakapan dalam membuat keputusan, perawat harus membedakan situasi ketidakpastian dari situasi resiko, karena keputusan yang berbeda dibutuhkan dalam kedua situasi tersebut. Ketidakpastian adalah kurangnya pengetahuan hasil tindakan, sedangkan resiko adalah kurangnya kendali atas hasil tindakan dan menganggap bahwa si pengambil keputusan memiliki pengetahuan hasil tindakan walaupun ia tidak dapat mengendalikannya. Lebih sulit membuat keputusan dibawah ketidakpastian disbanding dibawah kondisi bahaya. Di bawah ketidak pastian si pengambil keputusan tidak memiliki dasar rasional terhadap pilihan satu strategi atas strategi lainnya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan :
1.    Posisi atau kedudukan.
Dalam mengambil suatu keputusan posisi atau kedudukan sangat menentukan yaitu apakah posisi seseorang itu masuk kedalam pembuat keputusan (decision maker), penentu keputusan (decision taker) atau karyawan (staff) karena dari penentuan posisi inilah kemudian dapat ditentukan bagian apa yang harus dikerjakan pada posisinya masing-masing sehingga keputusan yang diambil bisa tepat.
2.    Masalah.
Masalah merupakan suatu penghalang untuk tercapainya suatu tujuan, jadi dalam mengambil suatu keputusan harus benar-benar dipahami masalah yang sedang dihadapi sehingga kita bisa mengambil keputusan yang tepat dan juga suatu tujuan dapat tercapai.
3.    Situasi.
Situasi merupakan keseluruhan faktor-faktor dalam keadaan yang berkaitan satu sama lain dan yang secara bersama-sama memancarkan pengaruh terhadap kita beserta apa yang hendak kita perbuat.
4.    Kondisi.
Kondisi adalah keseluruhan dari faktor-faktor yang secara bersama-sama menentuk andanya gerak, daya berbuat atau kemampuan kita. Sebagian besar faktor-faktor tersebut merupakan sumber daya-sumber daya.
5.    Tujuan.
Tujuan yang hendak dicapai baik tujuan perorangan, tujuan unit (kesatuan), tujuan organisasi, maupun tujuan usaha yang pada umumnya telah ditentukan. Tujuan yang ditentukan dalam pengambilan keputusan merupakan tujuan antara atau objektif.

G. Tipe-Tipe Pengambilan Keputusan
Tipe pengambilan keputusan ( Decision Making ) adalah  tidankan manajemen dalam pemilihan alternative untuk mencapai sasaran. Tipe Pengambilan Keputusan pada klien: (Saraswati I, Tarigan L.H, 2002):
Ø Pengambilan keputusan untuk tidak berbuat apa-apa karena ketidaksanggupan atau merasa tidak sanggup.
Ø Pengambilan keputusan intuitif, sifatnya segera, langsung diputuskan, karena keputusan tersebut dirasakan paling tepat.
Ø Pengambilan keputusan yang terpaksa, karena segera dilaksanakan.
Ø Pengambilan keputusan yang reaktif. Sering kali dilakukan dalam situasi marah dan tergesa-gesa.
Ø Pengambilan keputusan yang ditangguhkan, dialihkan pada orang lain yang bertanggung jawab.
Ø Pengambilan keputusan secara berhati-hati, dipikirkan baik-baik, mempertimbangkan berbagai pilihan.
Keputusan dibagi dalam 3 tipe:
1.    Keputusan  terprogram/ keputusan terstruktur
2.    Keputusan yang berulang-ulang dan rutin, sehingga dapat diprogram. Keputusan terstruktur terjadi dan dilakukan terutama pada management tingkat bawah.
3.    Keputusan setengah terprogram / setengah terstruktur
4.    Keputusan yang sebagian dapat diprogram, sebagian berulang-ualang dan rutin dan sebagian tidak terstruktur. Keputusan ini sering bersifat rumit dan memutuhkan perhitungan-perhitungan serta analisis yang terperinci.
5.    Keputusan tidak terprogram / tidak terstruktur
6.    Keputusan yang tidak terjadi berulang-ulang dan tidak selalu terjadi. Keputusan ini terjadi di management tingkat atas. Informasi untuk pengambilan keputusan tidak terstruktur tidak mudah untuk didapatkan dan tidak mudah tersedia dan biasanya berasal dari ligkungan luar.
Pemberian informasi efektif oleh konselor kepada klien, pemberian informasi efektif bila:
Ø Informasi yg diberikan spesifik, dapat membantu klien dalam mengambil keputusan.
Ø Informasi disesuaikan dengan situasi klien, dan mudah dimengerti.
Ø Diberikan dengan memperhatikan hal-hal berikut : Singkat dan tepat (pilih hal-hal penting yg perlu diingat klien)
Ø Menggunakan bahasa sederhana
Ø Gunakan alat bantu visual sewaktu menjelaskan
Ø Beri kesempatan klien bertanya dan minta klien mengulang hal-hal penting.


H.      Pengambilan Keputusan dalam Pemilu
Ini ada penelitian dari Universitas Brawijaya Pada Tahun 2014.
MODEL PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF PADA MAHASISWA PEMILIH PEMULA
Dwissa Lestari, Agus Sofyandi Kahfi, Stephani Raihana Hamdan

Mahasiswa merupakan pemilih pemula dengan karakteristik kritis, mandiri, independen, anti -status quo, dan pro-perubahan yang diharapkan menjadi agent of change. Karakteristik lainnya, yaitu kemampuan kognitif dewasa awal (shifting gears dan self-referential thought), pertumbuhan kognitif diperguruan tinggi, kemudahan mengakses informasi. Dalam Pemilu legislatif, mahasiwa Unisba diharapkan memilih dengan rasional berdasarkan visi-misi, latar belakang, dan isu-isu yang ditawarkan. Kenyataannya, banyak mahasiswa Unisba memilih berdasarkan paras, rekomendasi kerabat, iklan, dan kefamilieran, meskipun terdapat segelintir mahasiswa memilih berdasarkan latar belakang, partai, dan pemberitaan. Hal tersebut menunjukkan ragam pengambilan keputusan. Menurut Lau&Redlawsk, model pengambilan keputusan adalah memahami bagaimana pemilih memperoleh informasi dan menggunakan informasi tersebut dalam membuat keputusan dimana proses yang dilakukan dalam membuat pilihan tersebut dapat mengarahkan kepada keputusan yang baik atau buruk. Terdapat empat model, yaitu rational choice, confirmatory, fast and frugal, dan bounded rationality and intuitive. Tujuan penelitian ini mendapatkan gambaran model pengambilan keputusan dalam Pemilu legislatif pada mahasiswa Unisba. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif (subjek 200 mahasiswa). Hasil menunjukkan: 27% rational choice, 12% confirmatory, 37,5% fast and frugal, 23,5% bounded rationality and intuitive.




BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pengambilan keputusan (desicion making) adalah melakukan penilaian dan menjatuhkan pilihan melalui beberapa perhitungan dan pertimbangan hingga mencapai pada keputusan terbaik.
Pengambilan keputusan dapat diartikan sebagai pemilihan alternatif terbaik dari beberapa pilihan alternatif yang tersedia. Terdapat beberapa teori pengambilan keputusan yang dianggap paling sering dibicarakan dalam pelbagai kepustakaan kebijakan negara diantaranya ; Teori Rasional Komprehensif, Teori Inkremental, Teori Pengamatan Terpadu (Mixed Scanning Theory).
Menurut konsepsi Anderson, nilai-nilai yang kemungkinan menjadi pedoman perilaku para pembuat keputusan itu dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) kategori, yaitu : Nilai-nilai politik, nilai-nilai organisasi, nilai-nilai pibadi, nilai-nilai kebijaksanaan, nilai-nilai ideologis.
Ada lima langkah kritis dalam penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan, yaitu: Penetapan tujuan, mengumpulkan data secara cermat, membuat banyak alternative, berfikir logis, memilih dan bertindak secara efektif.
Dalam pengambilan suatu keputusan, individu dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu nilai individu, kepribadian, dan kecenderungan dalam pengambilan resiko. Sedangkan dalam pengambilan keputusan pasti ada faktor-faktor yang membuat kita memilih cara itu seperti halnya contoh tulisan di atas tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan misalkan karna ada faktor posisi atau kedudukan yang biasanya faktor itu tertuju pada seseorang yang sangat berperan menjadi pimpinan dalam sebuah organisasi, lalu ada permasalahan yang harus diselesaikan dengan sebuah keputusan yang tentunya dengan berbagai factor dan konsekuensi.
Tipe pengambilan keputusan ( Decision Making ) adalah  tidankan manajemen dalam pemilihan alternative untuk mencapai sasaran. Keputusan dibagi dalam 3 tipe: Keputusan  terprogram/ keputusan terstruktur, keputusan setengah terprogram / setengah terstruktur, keputusan tidak terprogram / tidak terstruktur.


DAFTAR PUSTAKA
Sarlito W. Sarwono, Psikologi Sosial (Jakarta: Salemba Humanika,2014)




[1] Sarlito W. Sarwono, Psikologi Sosial (Jakarta: Salemba Humanika, 2014), hal 201