Blogger Widgets

music

Kamis, 10 Desember 2015

Makalah Psikologi Kesehatan Mental

GANGGUAN JIWA

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kesehatan Mental
Dosen pengampu : Tatik Imadatus Sa’adati M.Psi, Psikolog





Di susun oleh:
                                             Nadia Nufida Aflaha             (933400613)


JURUSAN USHULUDDIN PROGRAM PSIKOLOGI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
KEDIRI
2015




BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah laku di mana individu tidak mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat, dan lingkungan.
Gangguan jiwa merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Gangguan jiwa dapat menyerang semua usia. Sifat serangan penyakitnya biasanya akut dan bisa kronis atau menahun. Di masyarakat ada stigma bahwa gangguan jiwa merupakan penyakit yang sulit disembuhkan, memalukan dan aib bagi keluarganya.  Ada kepercayaan di masyarakat bahwa gangguan jiwa timbul karena musuhnya roh nenek moyang masuk kedalam tubuh seseorang kemudian menguasainya.
Faktor penyebab terjadinya gangguan jiwa bervariasi tergantung pada jenis-jenis gangguan jiwa yang dialami. Secara umum gangguan jiwa disebabkan karena adanya tekanan psikologis yang disebabkan oleh adanya tekanan dari luar individu maupun tekanan dari dalam individu. Beberapa hal yang menjadi penyebab adalah ketidaktahuan keluarga dan masyarakat terhadap jenis gangguan jiwa ini, serta ada beberapa stigma mengenai gangguan jiwa ini.
. Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah laku di mana individu tidak mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat, dan lingkungan.

B.  Rumusan Masalah
1.    Apakah pengertian gangguan jiwa?
2.    Apakah teori gangguan jiwa?
3.    Bagaimanakah psikoterapi gangguan jiwa?
4.    Bagaimanakah studi kasus gangguan jiwa?

C.  Tujuan Makalah
Untuk mengetahui tentang pengertian, teori, psikoterapi, dan contoh studi kasus gangguan jiwa.


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Gangguan Jiwa
Gangguan jiwa atau mental illness adalah kesulitan yang harus dihadapi oleh seseorang karena hubungannya dengan orang lain, kesulitan karena persepsinya tentang kehidupan dan sikapnya terhadap dirinya sendiri-sendiri.
Gangguan jiwa adalah gangguan dalam cara berpikir(cognitive), kemauan(volition), emosi(affective), tindakan(psychomotor).
Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah laku di mana individu tidak mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat, dan lingkungan.

B.  Teori Penyebab Gangguan Jiwa
Teori penyebab gangguan jiwa yang banyak dianut hingga sekarang adalah teori stress vulnerability theory. Menurut teori tersebut seseorang menderita gangguan jiwa karena adanya kerentanan dalam dirinya dan adanya stress (tekanan jiwa). Kerentanan terhadap gangguan jiwa terbentuk oleh berbagai keadaan, seperti: keturunan, pengalaman hidup waktu kecil yang menekan, keadaan otak ketika masih menjadi janin atau bayi. Hal-hal atau keadaan yang bisa menimbulkan stress antara lain: ditinggal mati, kesulitan keuangan (hutang), tekanan pekerjaanatau sekolah, konflik dalam rumah tangga atau dengan teman. Menurur stress vulnerability (kerentanan) theory, seseorang terkena gangguan jiwa karena yang bersangkutan mempunyai kerentanan dan adanya tekanan jiwa. Seseorang yang punya kerentanan tinggi namun tidak ada stress, maka yang bersangkutan tidak akan menderita gangguan jiwa. Hanya saja, seseorang yang punya kerentanan tinggi, akan mudah terkena gangguan jiwa meskipun hanya dipicu oleh stress yang kecil. Padahal, stress kecil tersebut tidak akan bisa menimbulkan gangguan jiwa bisa menyerang pada seseorang ang punya kerentanan rendah. Seseorang dengan kerentanan yang rendah baru akan menderita gangguan jiwa bila mendapat stress yang berat.

C.  Psikoterapi untuk Gangguan Jiwa
1.    Terapi psikofarmaka
Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara selektif pada Sistem Saraf Pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental dan perilaku, digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik yang berpengaruh terhadap taraf kualitas hidup klien.
2.    Terapi somatic
Terapi ini hanya dilakukan pada gejala yang ditimbulkan akibat gangguan jiwa sehingga diharapkan tidak dapat mengganggu sistem tubuh lain. Salah satu bentuk terapi ini adalah Electro Convulsive Therapy.
3.    Terapi Modalitas
Terapi modalitas adalah suatu pendekatan penanganan klien gangguan yang bervariasi yang bertujuan mengubah perilaku klien gangguan jiwa dengan perilaku maladaptifnya menjadi perilaku yang adaptif.
Ada beberapa jenis terapi modalitas, antara lain:
·      Terapi individual
·      Terapi lingkungan
·      Terapi kognitif
·      Terapi keluarga
·      Terapi kelompok
·      Terapi bermain

D.  Studi Kasus Gangguan Jiwa
Sutudi Kasus 1
Bipolar Disorder
Sheyna, 13 tahun, memiliki orangtua yang overprotective dan sangat menuntut supaya Sheyna mengikuti apa saja perintah yang diberikan kepadanya.
Sheyna merupakan anak bungsu dari 3 bersaudara, dan hanya ia yang perempuan. Sheyna menganggap dirinya sangat bergantung pada orangtua, ditambah lagi orangtua memperlakukan Sheyna seperti anak kecil yang berusia di bawah usia dirinya.
Kedua kakak Sheyna sangat pembangkang bahkan kakak pertama Sheyna (18 tahun) pernah blak-blakan mengaku kepada orangtua mereka bahwa ia telah melakukan aktivitas seksual dengan teman di sekolah. Tentu saja, orangtua menjadi sangat marah, apalagi orangtua sangat strict terhadap isu-isu seksual. Bahkan, orangtua selalu membahas kepada Sheyna dan kedua kakak bahwa virginity itu harus dijaga hingga kelak menikah. Kondisi kakaknya ini berbanding terbalik dengan Sheyna yang sangat pasif dan penurut, serta menjadi satu-satunya anak yang dianggap “baik” oleh orangtuanya sehingga Sheyna dijuluki “Little Miss Perfect”.
Ada riwayat sakit mental di dalam keluarga Sheyna. Nenek kandung Sheyna dari pihak Ibu serta Bibi Sheyna dari pihak Ayah sama-sama menderita depresi.
Sheyna mengalami insomnia sejak ia berusia 10 tahun. Setiap malam ia mengalami kesulitan untuk tidur dan akhirnya mengganggu kegiatan belajar di sekolah. Nilai Sheyna sampai mengalami penurunan yang cukup parah, sehingga orangtua memutuskan supaya Sheyna menjalani home-schooling saja supaya Sheyna dapat mengatur waktu kapan untuk belajar. Perilaku insomnia ini dialami Sheyna pasca pertengkaran hebat di dalam keluarga, di mana kakak pertama Sheyna ternyata sampai menghamili temannya di sekolah. Pada saat itu, kondisi rumah sangat ‘panas’, Ayah dan Ibu selalu bertengkar setiap ada kesempatan di pagi-siang-sore-malam. Keadaan semakin memanas karena kakak pertama Sheyna sempat kabur dari rumah bersama teman yang ia hamili, sehingga memicu pertengkaran antara keluarga Sheyna dengan keluarga yang anaknya dihamili oleh kakak Sheyna tersebut. Kondisi tersebut berlangsung hingga kurang-lebih dua bulan dan sejak itu, Sheyna sulit sekali memejamkan mata seberapa pun dirinya mengantuk karena bayangan pertengkaran dan suasana memanas itu selalu menghantui Sheyna. Untuk pertama kalinya, di masa sebulan itu, Sheyna mengalami ledakan emosi yang tinggi.
Sejak saat itu, Sheyna juga semakin sering menyendiri di dalam kamar untuk menghindari pertengkaran. Bagi Sheyna, dia menjadi lebih rileks dengan berada di dalam kamar. Dia juga semakin bisa berpikir, mencari tahu, dan menganalisa segala hal yang ia senangi. Sheyna tertarik dengan politik dan memiliki pemikiran tersendiri tentang politik, misalnya ia percaya bahwa dirinya merupakan reinkarnasi dari seorang politikus Romawi di masa lalu.
Keluarga dan teman-teman Sheyna melihat Sheyna sebagai orang yang sangat rapi dan teroganisir. Sheyna senang menuliskan apapun ide-ide yang ia miliki dan menuliskan di buku diary, komputer, bahkan dinding kamarnya penuh dengan papernote yang ditempelkan secara berantakan dan berisi ide-idenya tersebut. Kebanyakan ide yang Sheyna tuliskan berisi tentang hal-hal yang selama ini dianggap tabu untuk dibicarakan di dalam keluarganya, seperti tentang dorongan seksual dan tingkat spiritualitas. Aktivitas ini semakin menjadi-jadi saat ia merasakan gairah luar biasa untuk melakukan sesuatu.
Selama proses pertengkaran di dalam keluarganya, Sheyna sempat mengalami depresi dan depresi yang ia miliki semakin menjadi-jadi karena hingga saat ini Sheyna masih menderita insomnia. Sheyna juga menderita kesulitan untuk makan dan konsentrasi. Di puncak depresinya, Sheyna akhirnya beberapa kali melakukan percobaan bunuh diri. Beruntung, Ibu selalu menemukan Sheyna tepat waktu sehingga Sheyna masih bisa diselamatkan.
Analisa Kasus Sheyna
Sheyna menunjukkan simptom perilaku yang mengarah ke Bipolar I Disorder. Sheyna meyakini bahwa dirinya merupakan reinkarnasi dari politisi Romawi di masa lalu, yang menunjukkan simptop psikotis ada pada dirinya. Simptom psikotis sendiri hanya muncul pada Bipolar I Disorder. Sheyna juga menunjukkan perilaku mania dengan cara menuliskan semua ide-ide yang ia miliki di buku diary, komputer, bahkan papernote yang ditempel berantakan di dinding kamarnya. Ide-ide tersebut termasuk pula ide-ide yang sebenarnya selalu tabu untuk dibicarakan di dalam keluarga (tentang seksualitas dan spiritualitas). Perilaku ini jelas berbeda dengan kebiasaan Sheyna yang selalu rapi dan terorganisir. Kemunculan perilaku mania ini dibarengi pula dengan kemunculan perilaku depresi yang membuat Sheyna sampai beberapa kali melakukan percobaan bunuh diri.
Pada kasus Sheyna, ditemukan bahwa ada riwayat genetis di dalam keluarga dekatnya yang memiliki gangguan depresi, yaitu Nenek kandung Sheyna dari pihak Ibu serta Bibi Sheyna dari pihak Ayah. Perlu ada pemeriksaan mendalam tentang apakah kasus Sheyna terkait dengan riwayat genetis di dalam keluarganya. Tetapi, kemungkinan itu tetap ada.
BD yang diderita Sheyna merupakan masalah yang perlu penanganan hingga seumur hidup karena tidak dapat dengan mudah ditentukan bahwa gejala mania dan depresi yang diderita Sheyna tidak akan lagi muncul di masa depan. Cara terbaik untuk memberikan treatment kepada Sheyna adalah dengan memberikan  pengobatan medis yang tepat serta menjalani psikoterapi. Misalnya, mengkombinasikan pemberian obat antipsychotic(seperti: Seroquel) dan mood-stabilizer (seperti: Lithium), ditambah psikoterapi (seperti: terapi regulasi emosi, anger management untuk membantu Sheyna dalam mengatasi mania dan depresi yang muncul di dirinya)

Studi kasus 2
Obsessive Compulsive Disorder (OCD)
Lauren Walsh, wanita berusia 21 tahun menderita Obsessive Compulsive Disorder (OCD). OCD menyerang mental dengan ciri-ciri selalu berpikir berulang-ulang dan melakukan aktivitas yang juga dilakukan berulang-ulang. Kelainan ini membuat Lauren merasa menjadi orang yang tidak normal.
Misalnya, dia selalu menghabiskan banyak waktu untuk mencuci tangan berjam-jam. Jika dihitung-hitung, ia bisa menghabiskan 10 jam sehari di kamar mandi, seperti. Lauren juga selalu merasa takut karena dia berpikir setiap inchi tubuhnya dihinggapi bakteri, sehingga dia harus mandi lagi dalam waktu lama untuk membersihkannya.
“Ini sampai ke titik saat saya harus mandi lima kali sehari, masing-masing berlangsung dua jam.” Ujar Lauren.
“Rasanya, ada begitu banyak hal, yang harus saya lakukan. Setiap menit dari bagian tubuh saya harus dikontrol.” Penderitaan ini dialami Lauren sejak didiagnosis mengalami gangguan OCD di usia 12 tahun. OCD yang diderita Lauren seperti menyebabkan suara di kepalanya, yang dia sebut ‘iblis di bahu’. Kondisi ini seolah meyakinkan dia selalu dalam keadaan kotor.
Lauren tahu itu tidak rasional, tapi dia tidak berdaya mengendalikan dirinya. Lauren memaparkan bagaimana OCD mengendalikan hidupnya selama bertahun-tahun. Waktu itu, ibunya, Linda, merasa heran, dengan kebiasaan Lauren.
Lauren terus menerus mencuci tangan. Tidak hanya di rumah, bahkan juga di sekolah. Penderitaan Lauren membuat dia sulit bersosialisasi dengan teman-teman sekolah. Banyak teman-teman sekolah yang kemudian menjuluki Lauren sebagai orang aneh dan setres.
Di usia 10 tahun, Lauren pernah menangis tak terkendali karena dia merasa ada sesuatu yang salah dengan dirinya. Tapi, waktu itu tidak tau kenapa dia merasa bersalah. Barulah ketika berusia 12 tahun, penderitaan Lauren dikenali penyebabnya. Dia didiagnosis OCD. Saat memasuki remaja, OCD menjadi semakin melumpuhkan mental Lauren. Kamar tidurnya penuh dengan catatan karena Lauren merasa terdorong untuk terus menulis.
“Aku punya catatan untuk diingat kembali ketika saya berumur 12 tahun. Orang beranggapan OCD adalah tentang mencuci tangan sedikit lebih lama dari biasanya dan kemudian Anda melanjutkan aktivitas seperti orang lain. Tapi, ternyata tidak.” Lauren melanjutkan, “Keluar dari tempat tidur memakan waktu 20 menit setiap pagi karena saya harus berbalik sampai saya berada di sudut kanan. Jika tidak merasa benar, saya ulangi sampai hal itu benar.” Setelah itu, dia akan memastikan tempat tidur selalu dalam keadaan sempurna tanpa ada kain yang kusut. Dia harus mencuci sarung bantal setiap hari dan seprai setidaknya tiga kali seminggu.
“Di kamar mandi aku menggunakan sabun yang berbeda dan lotion untuk bagian tubuh yang berbeda, dimulai di bagian atas dan bekerja dengan cara ke bawah. Dibutuhkan waktu dua jam setiap kali mandi,” kata Lauren. Untuk menggunakan toilet, dia harus menyekanya dulu kemudian duduk dengan cara yang benar. Lalu, dia akan selalu merobek lembar pertama kertas toilet karena takut telah tersentuh orang lain. Kemudian dia akan merobek tisu sebanyak 12 lembar untuk selanjutnya dilipat dengan cara tertentu sebelum dipakai. Untuk sekadar bangun dari toilet pun, dia masih harus memutar sampai benar-benar merasa nyaman.
“Saya harus berjalan lurus sempurna dan setiap langkah harus merasa benar di kaki. Jika tidak, saya harus mulai dari awal lagi. Jadi, saya akan berada di sana selama berjam-jam.” Kondisi Lauren, mirip seperti yang dialami Sam Hancox, yang akhirnya meninggal akibat kasus serupa. Sam mengalami dehidrasi dan infeksi kulit karena penyakit OCD selama 30 tahun. Penyakit ini membuat Sam selalu mandi sampai 20 jam setiap hari karena, dia takut kuman.
“Kasus itu membuat saya marah, karena bisa saja terjadi pada saya,” ujar Lauren yang sangat takut riwayat hidupnya akan berakhir tragis sama seperti Sam.

Studi kasus 3
Dissociative Identity Disorder (DID) / Kepribadian Ganda
Kisah kriminal yang dilakukan pria dengan 24 kepribadian ini serta politisasi proses penyembuhan Billy menjadi nilai tambah dalam dunia psikologi.
Kisah Billy, pemuda sekaligus pemudi, orang dewasa sekaligus anak-anak yang terjebak dalam satu tubuh ini jelas akan memberikan pencerahan buat masyarakat awam maupun ahli ilmu jiwa di negeri ini.
Kisah nyata Billy jelas akan menyedot konsentrasi, karena lompatan 24 nama tokoh alter ego bisa timbul tiba-tiba, kapan pun, di mana pun. Namun, lebih jauh dari itu, kisah Billy sang psikotis yang piawai melukis ini telah menyeret realitas kehidupan sosial negara adidaya dengan segala implikasinya.
Billy lahir dan dibesarkan dalam keluarga submarginal yang terseok-seok bertahan dalam tekanan ekonomi dan liberalisme budaya. Keadaan semakin buruk bagi Billy ketika ia menjadi korban perilaku seksual menyimpang saat usianya masih sangat belia.
Tarik ulur politis yang kerap menghambat penyembuhan Billy kian menguatkan kenyataan bahwa sesempurna apa pun sistem yang diterapkan negara adidaya tersebut, hak kaum jelata tetap kerap terpinggirkan.
Penderita gangguan perilaku seksual yang tak segera ditangani berpotensi berubah menjadi pelaku kejahatan. Korban mereka pun di masa datang bukannya tak mungkin akan berubah menjadi mimpi buruk bagi komunitasnya. Lingkaran mengerikan yang jelas tak mudah ditangani itu turut mewarnai kisah Billy.

Berikut adalah 24 kepribadian yang menghuni sosok Billy:
1.     William Stanley Milligan (Billy), 26. Sosok pribadi yang asli, atau inti, yang belakangan disebut unfused Billy—yang berarti ‘Billy yang belum terfusi’—dan juga Billy-U. tidak tamat SMU. Tinggi 180 cm, bobot 86 kg. mata biru, rambut coklat
2.     Arthur, 22. Pria Inggris. Rasional, tanpa emosi, dia bicara dengan logat Inggris. Belajar sendiri fisika dan kimia, mempelajari buku-buku ilmu kedokteran. Fasih membaca dan menulis dalam bahasa Arab. Walaupun berprinsip konservatif/kuno dan menganggap diri kapitalis, dia bersumpah dirinya seorang ateis. Dialah yang pertama kali menyadari adanya sosok-sosok lainnya itu. ditempat-tempat yang aman, dialah yang berkuasa, yang memutuskan siapa saja anggota ‘keluarga’ yang akan muncul dan menguasai kesadaran. Berkacamata.
3.      Ragen Vadascivinivh, 23. Pengelola rasa benci. Nama ‘Ragen’ berasal dari kata rage again, yang berarti ‘mengamuk lagi’. Berkebangsaan Yugoslavia. Dia berbicara bahasa Inggris dengan logat Slavia yang jelas. Dia mampu berbahasa Serbo-Kroasia. Ahli senjata dan peluru, dan juga seorang karateka, dia menunjukkan kekuatan fisik yang luar biasa, yang berasal dari kemampuan mengendalikan aliran hormone adrenalin dalam tubuhnya. Dia seorang komunis dan ateis. Tugasnya adalah melindungi keluarga, khusunya wanita dan anak-anak. Dia mendominasi kesadaran apabila sedang berada ditempat-tempat yang berbahaya. Pernah terlibat dengan penjahat dan pecandu obat, dan mengaku pernah berperilaku criminal yang kadang-kadang disertai kekerasan. Berta badannya 95 kg, berambut hitam, dan berlengan amat besar. Berkumis panjang menjuntai. Dia menggambar dalam warna hitam-putih karena buta warna.
4.    Allen, 18. Orang kepercayaan. Bersifat manipulative. Dialah tokoh yang paling sering berhadapan dengan dunia luar. Dia seorang agnostic, dan semboyan hidupnya adalah, “manfaatkan hidup di muka bumi ini sebaik mungkin.” Dia bisa bermain drum, melukis potret wajah, dan hanya dialah yang menghisap rokok diantara pribadi-pribadi itu. berhubungan amat erat dengan ibu Billy. Tinggi tubuhnya sama dengan William, walaupun berbobot lebih ringan (75 kg). rambut dibelah kanan. Dia satu-satunya yang tidak bertangan kidal.
5.      Tommy, 16. Ahli melepaskan diri dari segala macam kunci dan simpul ikatan, atau disebut juga escape artist. Sering disangka sebagai Allen. Biasanya, dia bersikap bermusuh-musuhan, siap bertengkar dan bersifat antisocial. Bisa bermain saksofon dan jago dam bidang elektronika. Dia biasa melukis pemandangan alam. Warna rambutnya pirang agak suram. Matanya coklat, sewarna batu amber.
6.     Danny, 14. Anak yang selalu ketakutan. Takut kepada orang lain, terutama kaum lelaki. Dia pernah dipaksa menggali liang kubur sendiri, lalu ditimbun hidup-hidup. Jadi, dia Cuma berani melukis objek/benda tidak bergerak. Rambutnya pirang sebahu, matanya biru. Perawakannya pendek dan langsing.
7.         David, 8. Penanggung rasa nyeri, atau ‘si empati’. Menyerap semua rasa sakit dan derita para tokoh lainnya.amat peka dan penuh intuisi, tetapi rentang perhatiannya pendek,. Lebih sering kebingungan. Rambut coklat tua kemerahan, mata biru. Bertubuh kecil.
8.    Christene, 3. Si anak sudut. Dijuluki begitu karena dialah yang biasa bediri disudut sekolah. Gadis cilik berkebangsaan Inggris yang cerdas. Dia bisa membaca dan menulis, tetapi menderita disleksia (cacat membaca). Senang menggambar dan mewarnai bunga dan kupu-kupu. Berambut pirang sebahu. Bermata biru.
9.        Christoper, 13. Abang Christene. Bicara dengan logat Inggris. Penurut, tetapi bermasalah. Biasa meniup narmonika. Rambutnya coklat agak pirang, seperti rabt Christene, tetapi poninya lebih pendek.
10.  Adalana, 19. Wanita lesbian. Pemalu, kesepian, dan introvert. Dia suka menulis puisi, memasak, dan membersihkan rumah untuk tokoh-tokoh yang lainnya itu. rambut Adalana panjang hitam, seperti jalinan benang kasar. Karena matanya yang coklat terkadang bergerak menyimpang ke kanan dan ke kiri, dia disebit pemilik ‘mata menari’.
11.  Philip, 20. Si penjahat brutal. Warga New York, beraksen Brooklyn yang kental, biasa berbahasa kasar dan kotor. Karena nama ‘Phil’ beberapa kali disebut-sebut, pihak kepolisian dan media memperoleh petujk bahwa di samping kesepuluh orang yang sudah dikenal, masih ada sosok-sosok lainnya lagi. Sudahpernah melakukan kejahaa kecil. Rambut coklat keriting, mata coklat terang, hidung bengkok.
12.  Kevin, 20. Si perencana. Penjahat kelas teri. Senang menulis. Berambut pirang, mata hijau.
13.  Walter, 22. Orang Australia. Menganggap diri sebagai pemburu binatang yang hebat. Pandai menentukan arah dan sering ditugasi sebagai ‘penentu letak’. Berbagai emosi tertekan. Nyentrik. Berkumis.
14.  April, 19. Si perempuan berengsek. Berlogat Boston. Dia penuh dengan gagasan dan rencana untuk membalas dendam secara keji terhadap ayah tiri Billy, tokoh-tokoh lainnya berkata bahwa dia tidak waras. Menjahit dan membantu mengurus rumah tangga. Rambut hitam, mata coklat.
15.   Samuel, 18. Yahudi pengembara. Ortodoks dalam agamanya, dialah satu-satunya tokoh yang percaya pada Tuhan. Perupa patung dan pengukir kayu. Rambut dan janggutnya hitam keriting, matanya coklat.
16.    Mark, 16. Si kuda perjaka. Tidak punya inisiatif. Tidak berbuat apa-apa jika belum disuruh oleh yang lainnya. Melakukan tugas berat yang monoton. Jika tidak ada pekerjaan, dia Cuma duduk menatap dinding. Kadang-kadang disebut sebagai ‘si zombie’.
17.     Steve, 21. Si peniru gelagat orang. Sambil meniru orang lain, dia menertawakan mereka. Dia seorang egomaniak; hanya dialah satu-satunya sosok yang tidak pernah menerima diagnostic kepribadian majemuk. Karena dia seing meniru orang lain sambil mengejek, sosok-sosok yang lainnya sering tertimpa masalah.
18.   Lee, 20. Si pelawak. Sering bertindak nakal, membadut, dan melucu. Leluconnya, yang sering menjadikan orang lain sebgai sasaran, membuat tokoh-tokoh lainnya sering diajak berkelahi, lalu dipencilkan diruang isolasi. Tidak peduli tentang hidup ataupun akibat tidak-tanduknya terhadap orang lain. Rambut cokelat tua, mata coklat.
19.   Jason, 13. Si katup penyalur tekanan. Melalui reaksi histeris dan ledakan amukan, yang sering berakibat hukuman, dia melegakan tekanan yang menumpuk. Membawa pergi berbagai kenangan  buruk sehingga para tokoh lainnya bisa melupakan semua itu, dan berbuntut amnesia. Rambut coklat, mata coklat.
20. Robert (Bobby), 17. Si pemimpi, terus-menerus berkhayal tentang bepergian dan berpetualang. Meskipun bermimpi ingin menjadikan dunia ini tempat yang lebih baik, dia tidak berambisi maupun berminat intelektual.
21.     Shwan, 4. Tunarungu. Rentang perhatian pendek dan sering dianggap terbelakang. Suka mengeluarkan bebunyian mendengung untuk merasakan getaran dalam kepalanya.
22.  Martin, 19. Si pemuda snob. Warga kota New York, suka pamer kemewahan, serta senang berlagak. Ingin memiliki segala hal tanpa bekerja. Rambut pirang, mata kelabu.
23.  Timothy (Timmy), 15. Bekeja di took bunga. Disana, dia berjumpa dengan seorang homoseks, yang berusaha mendekati dirinya sampai dia ketakutan. Pergi ke dalam dunianya sendiri.
24.   Sang Guru, 26. Wujud kedua puluh tiga sosok alter ego di atas jika sudah melebur atau terfusi. Dialah yang mengajari sosok-sosok pribadi lainnya itu semua keterampilan yang mereka kuasai. Amat cerdas, peka, dan punya rasa humor yang bagus. Dia bilang, “akulah diri Billy seutuhnya,” dan sering mnyebut cocok-sosok lainnya itu sebagao “android (manusia robot) buatanku.” Sang Guru memiliki nyaris segenap ingatan yang utuh.

Billy tak memiliki kendali atas tindakan pribadi-pribadi lain yang bersemayam dalam dirinya.
Billy Milligan ditangkap dan dijebloskan ke penjara karena penculikan dan pemerkosaan tiga wanita di kampus Ohio State University. Namun kemudian, atas dasar alasan kegilaan, pengadilan membebaskannya.
Hingga kini, kabar terakhir dari Billy Milligan nyaris tak terdeteksi. Billy terakhir kali memberikan pernyataan pada publik melalui situs tersebut dengan mengkritik keras sistem perawatan di sejumlah institusi kesehatan jiwa milik pemerintah AS.
Ia tak menyebutkan apakah kepribadian-kepribadian dalam dirinya telah menyatu. Namun, dalam babak-babak terakhir Billy masih berjuang keras meraih dan menyatukan potongan-potongan jiwanya dengan terapi psikiatris.
Billy juga mengkritik keras sikap psikiatris di negerinya yang tak pernah tuntas menyelesaikan masalah kepribadian ganda. Puluhan hingga ratusan pasien kepribadian ganda malah menjadi komoditas penangguk keuntungan. Rumah sakit dan dokter dianggapnya membebankan biaya perawatan yang tak wajar.
Kemarahan Billy yang terungkap dalam kritik pedasnya pada institusi birokrasi dan rumah sakit mencerminkan dendam seorang pengidap kelainan jiwa yang harus melalui proses penyembuhan yang panjang namun tak kunjung sembuh.
“Sistem yang ada di negeri ini harus diubah total. Seorang penderita penyakit jiwa akan semakin kronis dengan sistem ini. Mereka jadi objek dari sebuah kejahatan ekonomi yang kejam. Negara ini juga mampu membuat seorang yang sehat menjadi sakit dengan sistemnya yang tak waras,” tegas Billy, entah kepribadian siapa yang muncul saat Billy menegaskan sikapnya. Atau, itu adalah pernyataan Billy yang telah utuh.

Studi Kasus 4
Psikopat
Ryan, seorang muda psikopat yang telah sukses menghabisi nyawa setidaknya 11 manusia, itulah jumlah korban yang sementara ini telah terungkap.
Hasil pemeriksaan kejiwaan menyimpulkan tidak ada tanda-tanda gangguan jiwa berat pada Ryan. Dia tidak gila, masih waras dan paham betul semua perbuatannya. Ryan hanya patut disebut psikopat, berkepribadian sangat sensitif, mudah tersinggung, impulsif dan agresif. Itu yang dalam teori psikiatri membuat anak muda ini mudah menyerang bila marah dan tersinggung. Kecuali itu, entah ada hubungannya atau tidak dengan prilaku kejamnya, Ryan diketahui memiliki gangguan orientasi sesksual, yakni homoseksual, dan biasa berperan sebagai wanita dalam berhubungan dengan sesama jenisnya.
Dalam hal kualitas kriminalnya, dapat dilihat semakin hari tingkat keseriusan perbuatan jahat Ryan semakin maju. Dari semula membunuh karena terpaksa, lalu membunuh dengan rencana karena motif uang, kemudian membunuh oleh sebab sakit hati, lantas membunuh dengan sangat keji: mutilasi, memotong-motong tubuh korban menjadi beberapa bagian. Entah apa jadinya bila perbuatan menyimpang ini lebih lambat diketahui. Halaman rumah Ryan di Jombang bakal benar-benar jadi kuburan.
Wajahnya kalem, mungkin senada dengan pembawaannya yang rada kemayu. Ryan sungguh tak tampak seperti seorang pembunuh. Dalam rekaman di televisi, melihat gayanya berjalan dan menggerakkan badan, anak muda ini malah jauh dari kesan penjahat. Tak sebanding dengan cap jagal yang sekarang dilekatkan kepadanya.
Pembunuhan berantai ala Ryan Jombang, yang mengubur sebagian korbannya menjadi satu bertumpuk-tumpuk di sebelah septic tank, mengubur sebagian yang lain di sisi kiri dan kanan rumah orangtuanya, dan diduga masih ada beberapa korban lagi yang belum ditemukan..
Melihat caranya membunuh dan perkakas yang dipakai: martil, bola beton, tongkat besi, juga kayu balok yang dipukulkan ke kepala belakang korbannya, kekejaman Ryan sungguh tak bisa dibilang sembarangan. Di kalangan sesama pembunuh kelasnya mungkin sudah advance killer, pembunuh tingkat atas yang di lingkungan penjara pun akan ditakuti ini bila dia mujur tak segera dihukum mati.




BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah laku di mana individu tidak mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat, dan lingkungan.
Meurut teori stress vulnerability, seseorang menderita gangguan jiwa karena adanya kerentanan dalam dirinya dan adanya stress (tekanan jiwa).
Beberapa psikoterapi yang dapat digunakan untuk penanganan gangguan jiwa adalah: terapi psikofarmaka, terapi somatic, terapi modalitas.

Selasa, 08 Desember 2015

Proposal Psikologi

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN PRESTASI BELAJAR AKADEMIK SISWA MAN DENANYAR JOMBANG

PROPOSAL
                                                     
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Islam (S. Psi)
Dosen pembimbing
DR. Limas Dodi, M.Hum







Oleh:
                                             Nadia Nufida Aflaha                (933400613)


JURUSAN USHULUDDIN
PRODI PSIKOLOGI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)KEDIRI

2015

A.  Latar Belakang Masalah
Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah, fisik maupun psikis. Walaupun dalam keadaan yang demikian ia telah memiliki kemampuan yang bersifat laten. Potensi bawaan ini memerlukan pengembangan melalui bimbingan dan pemeliharaan yang mantap lebih-lebih pada usia dini. Anak sejak dilahirkan telah membawa fitrah keagamaan.[1] Sehingga sikap perilaku yang yang diperankannya akan terkait dengan sistem keyakinan dari ajaran agama yang dianutnya. Perilakun individu dan sosial digerakkan oleh kekuatan dari dalam., yang didasarkan pada nilai ajaran agama yang menginternalisasi sebelumnya. Karena itu, Wach menyatakan bahwa keagamaan yang bersifat subjektif, dapat diobjektifkan dalam berbagai macam ungkapan, dan ungkapan-ungkapan tersebut mempunyai struktur tertentu yang dapat dipahami.[2]
Salah satu kenyataan yang terjadi dalam sepanjang perjalanan sejarah umat manusia adalah fenomena keberagamaan. Agama memberikan pedoman kepada umat manusia, bagaimana menjalani hidup dengan baik dan benar. Dalam agama ada istilah religi, religion (Inggris), religie (Belnada), religio/relegare (Latin), dan dien (Arab). Kata religion (Inggris) dan religie (Belanda) adalah berasal dari bahasa induk dari kedua bahasa tersebut, yaitu bahasa Latin “religio” dari akar kata “relegare” yang berarti mengikat.[3]
Dari istilah agama inilah kemudian muncul apa yang dinamakan religiusitas. Religiusitas seringkali dididentikkan dengan keberagamaan. Religiusitas diartikan sebagai seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah dan nakaidah dan seberapa dalam penghayatan atas agama yang dianutnya, bagi seorang muslim, religiusitas dapat diketahui dari seberapa jauh pengetahuan, keyakinan, pelaksanaan dan penghayatan atas agama Islam.[4]
Dengan demikian, religi atau agama mengandung pada umumnya memiliki aturan-atauran dan kewajiban-kewajiban yang harus dipahami dan dilaksanakan oleh pemeluknya. Religiusitas sebagai suatu kritik, dimaksudkan menjadi pembuka jalan agar orang yang Bergama makin intens. Moljanto dan Sunardi menyatakan bahwa semakin orang religious, hidup orang itu semakin nyata (real) atau merasa makin ada dengan hidupnya sendiri. Bagi orang yang beragama, intensitas itu tidak dapat dipisahkan dari keberhasilannya untuk membuka diri terus menerus terhadap pusat kehidupan. Religiusitas disebut juga sebagai inti kualitas hidup manusia, karena ia adalah dimensi yang berada didalam lubuk hati, sebagai riak getaran nurani pribadi dan menempas intimitas jiwa.[5]
Keberagamaan atau religiusitas lebih melihat aspek pada hati nurani pribadi, karena menapaskan intimasi jiwa, cita rasa yang mencakup totalitas kedalam pribadi manusia. Oleh karena itu, pada dasarnya religiusitas mengatasi atau lebih dalam dari agama yang tampak formal atau resmi.[6]
Keberagamaan atau religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perihal ritual (beribadah), tapi juga melakukan aktifitas lain seperti bekerja, belajar, dan segenap aktifitas lainnya yang berfaedah bagi dirinya dan juga bagi negara.
Salah satu modal utama sebuah negara untuk bisa berkembang dan maju adalah sumber daya manusia yang dimilikinya. Institusi pendidikan adalah institusi formal yang bertujuan untuk memajukan kualitas sumber daya manusia. Proses pendidikan yang berlangsung mempunyai ukuran standarisasi dalam menilai sejauh mana pengetahuan dan keterampilan peserta didik tercapai.[7]
Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah atau mengembangkan perilaku yang diinginkan. Sekolah sebagai lembaga formal merupakan sarana dan prasarana dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan tersebut. Dalam keseluruhan proses pendidikan disekolah, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok. Oleh karena itu, berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan bergantung kepada bagaimana proses belajar yang dialami oleh siswa sebagai anak didik.[8]
Salah satu parameter yang digunakan untuk mengukur kualitas siswa atau peserta didik adalah prestasi belajar atau prestasi akademik yang diraihnya. Didalam dunia pendidikan yang kaitannya dengan proses belajar maupun prestasi, religiusitas memiliki arti penting sebagaimana dinyatakan dalam UU No. 20 tahun 2003 entang sisdiknas, bahwa:

Pendidikan adalah usaha sadar dan terancam untuk mewujudkan secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.[9]

Berdasarkan UU No. 20 tersebut, regiusitas meliki peran peran penting dalam proses belajar mengajar agar menghasilkan prestasi belajar yang diharapkan. Tertanamnya nilai religiusitas pada diri siswa, tidak hanya berimplikasi pada prestasi belajarnya melainkan bagaimana siswa tumbuh dan berkembang sesuai dengan kemampuan dan potensi kepribadiannya seara optimal, yang akhirnya mempunyai kompensi untuk memecahkan masalah dalam kehidupan.
Sikap beragama pada intinya adalah beriman. Oleh karena itu menurut Lickona, bahwa untuk mendidik karakter dan nilai-nilai yang baik, termasuk didalamnya nilai keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, diperlukan pembinaan terpadu antara ketiga dimensi.
Hasil beragama dalam lingkungan sekolah/madrasah dapat dilihat dari prestasi belajar. Prestasi belajar sendiri merupakan tingkat keberhasilan peserta didik yang mengikuti proses belajar mengajar di sekolah dalam suatu periode tertentu. Dengan demikian nilai-nilai religiusitas yang melekat pada sikap dan diri peserta didik tidak hanya berimplikasi pada peningkatan prestasi belajar melainkan meghasilkan peserta didik yang tumbuh dan berkembang kemampuan dan potensi kepribadiannya secara optimal, yang akhirnya mempunyai kompetensi untuk memecahkan masalah dalam kehidupan. Berprestasi baik disekolah  pada umumnya menjembatani jalan untuk memperoleh pekerjaan yang baik pula.[10]
Berdasarkan pembahasan diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana hubungan antara religiusitas dengan prestasi belajar akademik siswa MAN Denanyar Jombang karena sekolah ini merupakan sekolah pesantren dengan beberapa asrama dan memiliki tingkat akademik yang tinggi dibuktikan dengan adanya kelas unggulan dan akselerasi.

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka timbul permasalahan sebagai berikut:
1.      Bagaimana religiusitas siswa MAN Denanyar Jombang?
2.      Bagaimana prestasi belajar akademik siswa MAN Denanyar Jombang?
3.      Apakah ada hubungan antara religiusitas dengan prestasi belajar akademik siswa MAN Denanyar Jombang?

C.  Tujuan penelitian
Sesuai degan permasalahan diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah:
1.      Untuk mengetahui religiusitas siswa MAN Denanyar Jombang
2.      Untuk mengetahui prestasi belajar siswa MAN Denanyar Jombang
3.      Untuk mengtahui hubungan antara religiusitas terhadap prestasi belajar akademik siswa MAN Denanyar Jombang

D.  Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian yang diajukan dalam proposal penelitian ini adalah:
“Adanya hubungan antara religiusitas dengan prestasi belajar akademik siswa MAN Denanyar Jombang.”

E.  Asumsi Penelitian
Menurut Suharsimi Arikunto, bahwa asumsi yaitu suatu hal yang diyakini kebenarannya oleh peneliti haru direncanakan secara jelas yang bertujuan untuk:[11]
1.      Memperkuat masalah
2.      Membantu penelitian dan memperjelas, menetapkan objek penelitian, wilayah pengambilan data, instrumen pengumpulan data.
Asumsi menurut Sugiono (2008:39) adalah pernyataan yang dianggap benar, tujuannya adalah untuk membantu dan memecahkan masalah yang dihadapi.[12] Berdasarkan pengertian tersebut, maka asumsi yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah:
1.    Setiap siswa memiliki nilai religiusitas.
2.    Prestasi belajar akademik siswa MAN Denanyar Jombang berbeda-beda.

F.   Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat dalan kajian-kajian berikutnya yang berbentuk:
1.      Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan prestasi belajar akademik siswa melalui religiusitas mereka dan menambah khasanah ilmu yang berkaitan dengan mutu pendidikan sekolah.
2.      Secara Praktis
a.       Untuk Siswa
Sebagai pendorong siswa dalam meraih prestasi akademik juga perlu meningkatkan nilai religiusitas mereka
b.      Untuk Guru
Menjadikan referensi dalam menerapkan nilai-nilai religiusitas dan peningkatan prestasi belajar akademik di lingkungan/sekolah
c.       Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan tambahan wawasan dan pengetahuan tentang hubungan antara religiusitas dengan prestasi belajar akademik di lingkungan/sekolah

G. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
1.    Ruang Lingkup
Ruang lingkup pembahasan ini adalah:
·      Tentang religiusitas siswa kelas XI MAN Denanyar Jombang
·      Tentang prestasi belajar akademik siswa kelas XI MAN Denanyar Jombang
·      Tentang ada tidaknya hubungan religiusitas dengan prestasi belajar akademik siswa MAN Denanyar Jombang
2.    Batasan Masalah
Agar penelitian ini terarah dan tidak keluar dari permasalahan yang ada, maka penelitian ini hanya membahas permasalahan tentang hubungan religiusitas dengan prestasi belajar akdemik siswa MAN Denanyar Jombang.

H.  Penegasan Istilah
Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini memfokuskan pada masalah religiusitas dan prestasi belajar akademik. Adapun definisi operasionalnya adalah:
1.      Religiusitas
Menurut perspektif Islam, religiusitas merupakan perbuatan melakukan aktivitas ekonomi, social, politik atau aktivitas apapun dalam rangka beribadah kpada Allah. [13]
2.      Prestasi Belajar Akademik
Prestasi belajar akademik adalah perubahan dalam hal kemampuan yang disebabkan karena proses belajar. Bentuk hasil proses belajar dapat berupa pemecahan tulisan atau lisan, keterampilan dan pemecahan masalah yang dapat diukur dan dinilai dengan menggunakan tes yang terstandar.[14]

I.     Landasan Teori
1.      Religiusitas
a.  Pengertian Religiusitas
Pengertian religiusitas dalam beberapa pendapat sebagaimana berikut: dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan beberapa istilah yang saling berhubungan, yaitu: 1) Religi (religion, kata benda) agama, kepercaaan, penyembahan, penghambaan, terhadap satu kekuatan supernatural ang dianggap sebagai Tuhan yang menentukan nasib manusia, suatu ungkapan terlembaga atau formal dari kepercayaan tersebut. Religious (kata sifat) bersiat agamis, berhubungan dengan agama, sesuai dengan prinsip-prinsip suatu agama. Keberagamaan (religiousness, kata benda) keadaan atau kualitas seseorang menjadi religious. Religiusitas (religiosity, kata benda) ketaatan pada agama atau keberagamaan.[15]
Menurut etimologi kuno, religi berasal dari bahasa Latin “religio” yang akar katanya adalah “re” dan “ligare” yang mempunyai arti mengikat kembali. Hal ini berarti dalam religi terdapat aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi dan mempunyai fungsi mengikat diri seseorang dalam hubungannya dengan sesama, alam dan Tuhan.[16]
Djamaludin & Suroso mengatakan, kebaragamaan atau religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), tapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Bukan hanya yang berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat mata, tapi juga aktivitas yang tak tampak dan terjadi dalam hati seseorang. Karena itu, keberagamaan seseorang akan meliputi berbagai macam sisi atau dimensi. Dengan demikian, agama adalah sebuah sistem yang berdimensi banak. Agama, dalam pengertian Glock & Stark adalah sistem symbol, keyakinan, sistem niali, dan sistem perilaku yang terlembagakan, yang semuanya itu berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai paling maknawi (ultimate meaning).[17]
Menurut Harun Nasution, religiusitas berasal dari kata religi (Latin) atau reegre berarti mengumpulkan dan membaca. Kemudian religare berarti mengikat.[18]
Dari berbagai definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa religiusitas adalah suatu kualitas keadaan seseorang dalam menghayati, memahami, serta mengamalkan nilai-nilai agama dalam kehidupan, yang menunjukkan ketaatan orang tersebut pada agama, interaksinya dengan Tuhan, sesame manusia dan alam semesta. Hal ini menunjukkan bahwa individu telah menghayati dan menginternalisasikan ajaran agamanya sehingga berpengaruh dalam segala tindakan dan pandangan hidupnya.
b. Dimensi Religiusitas
 Menurut Glock & Stark, ada lima macam dimensi keberagamaan, yaitu:[19]
·      Dimensi Keyakinan (ideologis)
Dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan dimana orang religious berpengaruh teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut. Setiap agama mempertahankan seperangkat kepercayaan dimana para penganut diharapkan akan taa. Walaupun demikian, isi dan ruang lingkup keyakinan itu bervariasi tidak hanya diantara agama-agama, tetapi sering kali diantara radisi-tradisi dalam agama yang sama.
·      Dimensi Praktek Agama (ritualistik)
Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktik-praktik keagamaan ini terdiri atas dua kelas penting, yaitu: 1) Ritual. Mengacu kepada seperangkat ritus, tindakan keagamaan formal dan praktek-praktek suci yang semua mengharapkan para pemeluk melaksanakan. 2) Ketaatan. Ketaatan dan ritual bagaikan ikan dengan air, meski ada perbedaan penting. Apabila aspek ritual dari komitmen sangat formal dan khas publik, semua agama yang dikenal juga mempunyai perangkat tindakan persembahan dan kontemplasi personal yang relative spontan, informal dank has pribadi.
·      Dimensi Penghayatan (eksperiensial)
Dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengharapan tertentu, meski tidak tepat jika dikatakan bahwa seseorang yang beragama dengan baik pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan subjektif dan langsung mengenai kenyataan terakhir (kenyataan terakhir bahwa ia akan mencapai suatu kontak dengan kekuatan supernatural).
·      Dimensi Pengalaman (konsekuensial)
Dimensi ini mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi
·      Dimensi Pengetahuan atau Konsekuensi
Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari. Dimensi ini tercermin dalam perilaku yang menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
c.  Faktor-Faktor Religiusitas atau Sikap Keagamaan
Thoules membedakan Faktor-fakor yang mempengaruhi sikap keagamaan menjadi empat macam, yaitu:[20]
·      Pengaruh pendidikan atau pengajaran dan berbagai tekanan social
Faktor ini mencakup semua pengaruh social dalam perkembangan keagamaan itu, termasuk pendidikan dari orang tua, tradisi-tradisi social, tekanan dari lingkungan social untuk menysuaikan diri dengan berbagai pendapat dan sikap yang disepakati oleh lingkungan itu.
·      Faktor pengalaman
Berkaitan dengan bebagai jenis pengalaman yang membentuk sikap keagamaan. Terutama mengenai keindahan, konflik moral dan pengalaman emosional keagamaan. Faktor ini umumnya berupa pengalaman spiritual yang secara cepat dapat mempengaruhi perilaku individu.
·      Faktor kehidupan
Kebutuhan-kebutuhan ini secara garis besar dapat dibagi menjadi empat, yaitu: 1) Kebutuhan akan keamanan dan keselamatan, 2) Kebutuhan akan cinta dan kasih, 3) Kebutuhan untuk memperoleh harga diri, dan 4) Kebutuhan yang timbul karena adanya ancaman kematian.
·      Faktor intelektual
Berkaitan dengan berbagai proses penalaran verbal atau rasionalisasi.
Sedangkan Noer Rahmah memberikan beberapa faktor yang bisa memainkan peranan dalam pembentukan sikap keagamaan atau yang menyebabkan manusia berusaha mendekatkan diri kepada dzat yang adikodrati yaitu Tuhan adalah sebagai berikut:[21]
·      Faktor sosial
Faktor ini mencakup semua pengaruh sosial dan mengembangkan sikap keagamaan.
·      Faktor alami
Pada umumnya ada anggapan bahwa kehadiran keindahan, keselarasan, dan kebaikan yang dirasakan dalam dunia nyata secara psikologik turut memainkan peran dalam membentuk sikap keagamaan.
·      Faktor konflik moral
Konlik moral dapat dianggap sebagai salah satu faktor yang menentukan sikap keagamaan sama halnya dengan pengalaman di ala mini.
·      Faktor intelektual
Proses-proses intelektual itu merupakan bagian dari landasan sikap keagamaan, karena memang ada benarnya bahwa suatu kepercayaan secara diam-diam akan lebih kuat dipegangi bila proses pemikiran dapat digunakan untuk memberikan alasan pembenarannya, dan kebanyakan orang cenderung meninggalkan kepercaaan-kepercayaan yang dimata mereka tampak kurang mendapatkan dukungan intelektual meskipun keperrcayaan-kepercayaan ini menarik perhatian mereka berdasarkan pertimbangan-pertimbangan lainnya.
·      Faktor afektif
Pengelaman keagamaan disini bisa berupa pengalaman yang meskipun secara orisinal terjadi dalam kaitan bukan keagamaan tetapi ia cenderung mengakibatkan perkembangan keyakinan keagamaan atau bisa juga suatu corak pengalaman yang timbul sebagai bagian dari perilaku keagamaan yang mungkin mempekuat, memperkaya atau justru memodifikasi kepercayaan-kepercayaan keagamaan yang sudah dianut sebelumnya.
·      Faktor kebutuhan yang tidak terpenuhi
Faktor lainnya yang dianggap juga sebagai sumber keyakinan agama ialah adanya kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi secara sempurna diman-mana sehingga mengakibatkan terasa adanya kebutuhan-kebutuhan akan kepuasan-kepuasan agama.
2.      Prestasi Belajar Akademik
a.  Pengertian prestasi belajar akademik
Menurut Bloom, prestasi akademik atau prestasi belajar adalah proses belajar yang dialami siswa dan menghasilkan perubahan dalam bidang pengetahuan, penerpan, daya analisis, sintesis dan evaluasi.[22]
Menurut Tirtonegoro, yang dimaksud prestasi belajar adalah hasil dari pengukuran serta usaha belajar.[23] Hasil atau nilai dari belajar yang diperoleh siswa akan mampu memperlihatkan yang dimiliki siswa terseut.antara siswa satu dengan yang lain akan berbeda pula nilai atau hasil belajarnya tergantung pada kemampuan dan kemauan yang dimiliki siswa tersebut.
Sedangkan menurut Sobur, prestasi belajar akademik adalah perubahan dalam hal kemampuan yang disebabkan karena proses belajar. Bentuk hasil proses belajar dapat berupa pemecahan tulisan atau lisan, keterampilan dan pemecahan masalah yang dapat diukur dan dinilai dengan menggunakan tes yang terstandar.[24]
b. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Prestasi Akademik
Pestasi belajar banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor dari dalam diri individu (intern) maupun dari luar individu (ekstern). Hasil belajar siswa di sekolah 70% dipengaruhi  oleh kemampuan siswa dan 30% dipengaruhi oleh lingkungan.[25]
Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa diantaranya adalah:
·      Faktor intern
Yaitu faktor yang berasal dari dalam siswa. Faktor intern terdiri dari:
-  Faktor fisiologis : Faktor ini menyangkut tentang kondisi fisik atau jasmani
-  Faktor psikologis : Faktor ini menyangkut dengan kondisi mental yang mempengaruhi keberhasilan belajar
·      Faktor ekstern
Yaitu faktor yang berasal dari luar siswa. Faktor ekstern terdiri dari:
-  Faktor lingkungan : Melakukan hubungan yang harmonis secara langsung maupun tidak langsung dengan lingkungan sekitar baik lingkungan social mauoun non social
-  Faktor instrument : Faktor yang adanya dan pengubahannya direncanakan
-  Faktor elemen, terdiri dari elemen utama dan elemen penunjang.
Elemen utama : motifasi untuk belajar, tujuan yang hendak dicapai, situasi yang mempengaruhi
Elemen penunjang : kesiapan, minat dan konsentrasi, keteraturan waktu dan disiplin dalam belajar
·      Faktor pendekatan belajar
Segala cara aau strategi yang dapat digunakan siswa dalam menunjang efektifitas proses materi pembelajaran tertentu
Wasty Soemanto menambahkan beberapa faktor yang mempengaruhi prestasi belajar, diantaranya adalah:
·      Faktor stimulus belajar
Yaitu segala hal diluar individu yang merancang individu itu unuk mengadakan reaksi atau perbuatan belajar. Stimulus dalam hal ini mecakup material, penugasan sera suasana lingkungan eksternal yang harus diterima atau dipelajari oleh si pelajar.
·      Faktor model belajar
Metode mengajar yang dipakai oleh guru sangat mempengaruhi metode metode belajar yang dipakai oleh si pelajar. Dengan demikian, metode yang dipakai oleh guru menimbulkan perbedaan yang berarti bagi proses belajar.
·      Faktor-faktor individual
Faktor individual sangat berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa, seperti kemaangan yang dicapai oleh individudari proses pertumbuhan fisiologisnya, faktor perbedaan jenis kelamin yang membedakan antara pria dan wanita dalam hal peranan dan perhatiannya terhadap suatu pekerjaannya.
·      Faktor usia kronologis
Pertambahan dalam hal usia selalu ditemani dngan proses pertumbuhan dan perkembangan.

J.    Metode Penelitian
1.    Rancangan Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivism, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu.[26]
Menurut Zainal Mustafa, penelitian kuantitatif merupakan penelitian yang bersifat kompleks, mulai dari isi kajian terhadap berbagai teori yang bersifat operasional teknis. Maka, penelitian harus berisi apa yang diteliti secara lengkap dan disampaikan dengan lugas dan objektif. Jenis penelitian yan akan digunakan deskriptif korelatif. Dikatakan deskriptif korelatif karena pada dasarnya penelitian hanya akan dijabarkan teknik-teknik pengumpulan data. Pengolahan/analisis, dan penyajian terhadap sekelompok data.[27]
2.    Populasi dan Sampel
a.    Populasi
Populasi adalah sekelompok individu tertentu yang memiliki satu atau lebih karakteristik umum yang menjadi pusa perhatian penelitian.[28] Populasi dalam penelitian ini adalah siswa-siswi MAN Denanyar Jombang. Populasi ini diperlukanm untuk memperoleh berbagai informasi tentang hubungan antara religiusitas terhadap prestasi belajar akademik siswa MAN Denanyar Jombang.
b.    Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Sedangkan menurut Sugiono, sampel adalah bagian dari jumlah  dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut.[29] Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik random sampling, yaitu pengambilan sampel dari anggota populasi dengan acak tanpa memperhatikan strata (tingkatan) dalam anggota populasi tersebut. Dimana pengambilan ini bertujuan untuk mempermudah dan memperkecil objek yang diteliti sehingga peneliti dapat mengelompokkan dengan mudah guna memperoleh hasil yang objekti.
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah siswa-siswi kelas X-XII yang diambil 90 orang. Peneliti mengambil sampel siswa-siswa semua kelas dikarenakan terdapat kelas akselerasi dan regular yang terdapat jurusan berbeda-beda dan telah memiliki pengalaman prestasi keagamaan dan prestasi akademik. Adapun kelas-kelastersebut adalah kelas akselerasi, dikarenakan kelas ini juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyak dengan kelas lain.
3.    Instrument Penelitian
Instrument penelitian alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya baik.[30] Instrument ang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah metode angket. Metode ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana hubungan antara religiusitas terhadap prestasi belajar akademik siswa MAN Denanyar Jombang. Adapun variasi jenis instrument penelitian yang digunakan adalah:
·      Observasi
·      Wawancara
·      Dokumentasi.
4.    Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data digunakan untuk mendapatkan data-data yang akurat dalam sebuah penelitian. Teknik pengumpulan data ang digunakan dalam penelitian diantaranya:
·      Metode pengamatan (obeservasi)
Dalam pengertian psikologi, observasi disebut pula dengan pengamatan, meliputi kegiatan pemusatan perhatian terhadap suatu objek dengan menggunakan seluruh alat indera.[31]
·      Metode wawancara (interview)
Wawancara atau interview merupakan suatu proses interaksi dan komunikasi verbal dengan tujuan untuk mendapatkan informasi penting yang diinginkan.[32]
·      Metode dokumentasi
Dokumentasi adalah mencari data mengenai benda-benda tertulis yang berupa buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan, notulen rapat, catatan harian, dan sebagainya.[33]
·      Metode angket
Metode angket aitu suatu metode pengumpulan data dengan menggunakan/mengajukan daftar petanyaan kepada responden yang diteliti.[34]
5.    Analisis Data
Analisis data adalah proses yang meinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan hipotesis (ide) dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema dan hipotesis itu.[35] Dalam menganalisis data hasil penelitian ini digunakan metode analisis data deskriptif kuantitatif yaitu membandingkan antara data dengan teori yang ada, dan data berupa angka-angka dianalisis dengan menggunakan statistik.
Menurut Sudjana, statistic adalah pengetahuan yang berhubungan dengan cara-cara pengumpulan fakta pengolahan serta penganalisannya, penarikan kesimpulan serta pembuatan keputusan yang beralasan berdasarkan fakta dan penganalisan yang dilakukan.[36]

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S., Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: Rineka Cipta, 2006)
Arikunto, Suharsini, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan SIstematik (Jakarta: Rineka Cipta, 2002)
Ancok, Djamaludin & Fuat Nashori, Psikologi Islam: Solusi Islam Atas Problem-Problem Psikologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000)
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, Edisi Ketiga)
Dodi, Limas, Metodologi Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2015)
Drikaya, Percikan Filsafat (Jakarta: Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional, 1988)
Faisal, Sanapiah, Metodologi Penelitian Pendidikan (Surabaya: Usaha Nasional, 1982)
Hadi, Sutrisno, Metodologi Research II (Yogakarta: Andi Ofset, 1990)
H., Jalaludin, Psikologi Agama Memahami Perilaku Keagamaan dengan Mengaplikasikan Prinsip-Prinsip Psikologi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007)
Jalaluddin. Psikologi Agama, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001)
Kahmad, Dadang, Sosiologi Agama, (Bandung. PT. Remaja Rosdakarya: 2002)
Kusuma, Nurul, Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara, 2007)
Mahmud, Dimyati, Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan (Yogyakarta: BPFE, 1990)
Majid, Ahmad Nurcholis, Kedewasaan Beragama dan bermasyarakat (http://www.google.com,-0 April 2006-05:32)
Moloeng, Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif Edidi Revisi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006)
Muhaimin & Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar, (Bandung: Trigenda Karya, 1993)
Mustafa, Zainal, Pengantar Statistik Deskriptif (Yogyakarta: Ekonomis, 1998)
Nashori, Fuad dan Rachmy Diana Mucharam, Mengembangkan Kreativitas dalam Perspektif Psikologi Islam, (Yogyakarta: Menara Kudus, 2002)
Rahmah, Noer, Pengantar Psikologi Agama (Yogyakarta: Teras, 2013)
R., Hawadi, Akselerasi A-Z Inormasi Program Pecepatan Belajar dan Anak Berbakat Intelektual (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009)
Rumi, Ahmad S., Reorientasi Nilai Religius dalam Karya Sastra (Bandung: FPBS UPI, http://www.google.com)
Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003)
Sobur, A., Psikologi Umum (Bandung: Pustaka Setia, 2003)
Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: CV Alfabeta, 2008)
Suginono, Statistik Untuk Peneliti (Bandung: Alfabeta, 2005)
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2012)
Sujana, Nana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar (Bandung: Sinar Baru, 1989)
Thoules, R., Pngantar Psikologi Agama (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1992)
Tilaar, H, Standarisasi Pendidikan Nasional, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006)
Tirtonegoro, Anak Supernormal dan Program Pendidikannya (Jakarta: Bumi Aksara, 2001)
Undang-Undang Sisdiknas (jakarta: Sinar Grafika, 2003)


[1] Jalaluddin, Psikologi Agama (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), hal 63 dan 65
[2] Ahmad S Rumi, Reorientasi Nilai Religius dalam Karya Sastra (Bandung: FPBS UPI, http://www.google.com)
[3] Dadang Kahmad, Sosiologi Agama (Bandung. PT. Remaja Rosdakarya: 2002), hal 13
[4] Fuad Nashori dan Rachmy Diana Mucharam, Mengembangkan Kreativitas dalam Perspektif Psikologi Islam (Yogyakarta: Menara Kudus 2002), hal 71
[5] Ahmad Nurcholis Majid Kedewasaan Beragama dan bermasyarakat (http://www.google.com,-0 April 2006-05:32)
[6] Muhaimin & Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar (Bandung: Trigenda Karya, 1993), hal 35
[7] Tilaar, H, Standarisasi Pendidikan Nasional (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006)
[8] Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal 1
[9] UU No. 20 tahun 2003, hlm 3
[10] Dimyati Mahmud, Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan (Yogyakarta: BPFE, 1990), hal 82
[11] Arikunto, S., Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), hal 16
[12] Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: CV Alfabeta, 2008), hal 39
[13] Ancok, D. & Suroso, F., Psikologi Islami ; Solusi Islami Atas Problem-Problem Psikologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal 772-79.
[14] Sobur, A., Psikologi Umum (Bandung: Pustaka Setia, 2003)
[15] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, Edisi Ketiga), hal 943-944
[16] Drikaya, Percikan Filsafat (Jakarta: Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional, 1988), hal 6
[17] Djamaludin Ancok & Fuat Nashori, Psikologi Islam: Solusi Islam atas Problem-Problem Psikologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hal 76
[18] Jalaludin H., Psikologi Agama Memahami Perilaku Keagamaan dengan Mengaplikasikan Prinsip-Prinsip Psikologi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hal 12
[19] Djamaludin Ancok & Suroso F. N., Psikologi Islam Solusi Islam Atas Problem-Problem Psikolgi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal 77
[20]R. Thoules, Pngantar Psikologi Agama (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1992)
[21] Noer Rahmah, Pengantar Psikologi Agama (Yogyakarta: Teras, 2013), hal 55
[22] Hawadi R., Akselerasi A-Z Inormasi Program Pecepatan Belajar dan Anak Berbakat Intelektual (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009)
[23] Tirtonegoro, Anak Supernormal dan Program Pendidikannya (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), hal 3
[24] Sobur, A., Psikologi Umum (Bandung: Pustaka Setia, 2003)
[25] Nana Sujana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar (Bandung: Sinar Baru, 1989), hal 39
[26] Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2012), hal 7
[27] Zainal Mustafa, Pengantar Statistik Deskriptif (Yogyakarta: Ekonomis, 1998), hal 1
[28] Sanapiah Faisal, Metodologi Penelitian Pendidikan (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), hal 324
[29]Limas Dodi, Metodologi Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2015), hal 128
[30] Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan SIstematik (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hal 107
[31] Ibid, hal 133
[32] Nurul Kusuma, Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hal 179
[33] Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan SIstematik (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hal 135
[34] Sutrisno Hadi, Metodologi Research II (Yogakarta: Andi Ofset, 1990), hal 136
[35] Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif Edidi Revisi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hal 267
[36]Sugiono, Statistik Untuk Peneliti (Bandung: Alabeta, 2005), hal 267