Blogger Widgets

music

Senin, 05 Januari 2015

Makalah Psikologi Islam

KESEHATAN MENTAL DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “psikologi islam”
Dosen pengampu Ahmad Taufiq, M.Si.











Di susun oleh:
Nadia Nufida Aflaha    (933400613)

JURUSAN USHULUDDIN PROGRAM PSIKOLOGI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
KEDIRI
2014




BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Pada zaman dahulu ketika teknologi belum dikenal oleh masyarakat umum secara luas setiap penyakit yang diderita oleh manusia sering sekali dikait-kaitkan dengan hal-hal yang berbau spiritual dan alam gaib, setiap penyakit dihubung-hubungkan dengan gangguan makhluk halus, oleh karena itu orang yang sakit lebih memilih berobat kedukun atau orang pintar yang dianggap bisa berkomunikasi langsung dengan makhluk halus ketimbang berobat ke tabib yang mengerti tentang jenis penyakit berdasarkan ilmu pengobatan.
Pergeseran zaman dan kemajuan teknologi tidak dapat terelakkan lagi, saat ini penyakit sudah dapat dilihat dan diobati dengan obat-obatan yang bagus dengan menggunakan metode pengolahan canggih. Ada penyakit yang bersumber dari virus, bakteri atau baksil-baksil sehingga untuk mengobatinya membutuhkan obat-obatan medis, tetapi ada juga penyakit yang bersumber dari jiwa atau hati suatu individu, jadi secara fisik individu tersebut tidak terkena virus, bakteri atau baksil-baksil, namun pada kenyataannya individu tersebut sakit.
Penyakit tersebutlah yang dinamakan dengan penyakit hati atau penyakit mental, untuk mengatasi penyakit tersebut diperlukan menejemen hati atau mental yang baik sehingga dapat membentuk kesehatan mental yang berimbas pada kesehatan secara fisik individu tersebut.

B.       Rumusan Masalah
1.    Apakah pengertian agama dan kesehatan mental?
2.    Bagaimana kesehatan mental dalam Al-Qur’an?
3.    Bagaimana ciri-ciri kesehatan mental?
4.    Bagaimana hubungan manusia dan agama?
5.    Apakah pengertian gangguan mental?
6.    Bagaimana ubungan agama dan kesehatan menta?
7.    Bagaimana agama sebagai terapi kesehatan mental?
8.    Apakah pengertian musibah?
BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian Agama dan Kesehatan Mental
Agama dianggap sebagai kata yang berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari dua akar suku kata yaitu “a” yang berarti tidak dan “gama “ yang berarti kacau sehingga artinya tidak kacau. Hal itu mengandung pengertian bahwa agama adalah suatu peraturan yang mengatur kehidupan manusia agar tidak kacau. Dalam bahasa Indonesia agama juga dikenal dengan kata addin dari bahasa arab yang artinya hukum kata ini juga mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan. Agama memang membawa peraturan-peraturan yang merupakan hukum, yang harus dipatuhi orang. Agama selanjutnya memang menguasai diri seseorang dan membuat ia tunduk serta patuh kepada Tuhan dengan menjalankan ajran-ajaran agama.[1]
kesehatan mental manusia membutuhkan agama. Dengan agama manusia dapat terbantu dalam mengatasi persoalan hidup yang berada di luar kesanggupan dirinya sebagai manusia yang lemah. Ajaran Islam membantu orang dalam menumbuhkan dan membina pribadinya, yakni melalui penghayatan nilai-niiai ketakwaan dan keteladanan yang diberikan Nabi Muhammad Saw. Dalam al-Qur'an juga terdapat ayat-ayat yang berkaitan dengan uraian definisi kesehatan mental, yang meliputi hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia, dengan lingkungan dan dengan Allah SWT. Ayat :

وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ
“tidak Aku jadikan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku" (QS. Adz Dzariyat (51) : 56)”

يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ إِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
"Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar ". (QS Al Baqarah (2): 153).

يَآأَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَآءَتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَآءٌ لِّمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ
"Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu nasihat (agama) dari Tuhanmu sebagai penyembuh bagii penyakit yang ada di dalam, dada (rohani), sebagai petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman". (QS. Yunus (10) : 5 7).

"Allah-lah yang telah menurunkan ketenangan jiiva di dalam hati orang-orang mukmin, supaya keimanan mereka bertambah disamping keimanan mereka yang sudah ada"( QS. A1 Fath (48): 4)

C.      Ciri-ciri Kesehatan Mental
Ciri-ciri kesehatan mental dikelompokkan kedalam enam kategori, yaitu:[2]
1.    Memiliki sikap batin (Attidude) yang positif terhadap dirinya sendiri.
2.    Aktualisasi diri.
3.    Mampu mengadakan integrasi dengan fungsi-fungsi yang psikis ada.
4.    Mampu berotonom terhadap diri sendiri (Mandiri).
5.    Memiliki persepsi yang obyektif terhadap realitas yang ada.
6.    Mampu menselaraskan kondisi lingkungan dengan diri sendiri.
agama dapat memberi dampak yang cukup berarti dalam kehidupan manusia, termasuk terhadap kesehatan. Orang yang sehat mental akan senantiasa merasa aman dan bahagia dalam kondisi apapun, ia juga akan melakukan intropeksi atas segala hal yang dilakukannya sehingga ia akan mampu mengontrol dan mengendalikan dirinya sendiri.Solusi terbaik untuk dapat mengatasi masalah-masalah kesehatan mental adalah dengan mengamalkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari, kesehatan mental seseorang dapat ditandai dengan kemampuan orang tersebut dalam penyesuaian diri dengan lingkungannya, mampu mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sendiri semaksimal mungkin untuk menggapai ridho Allah SWT, serta dengan mengembangkan seluruh aspek kecerdasan, baik kesehatan spiritual, emosi maupun kecerdasan intelektual.
Hal ini dapat ditarik kesimpulan karena pada dasarnya hidup adalah proses penyesuaian diri terhadap seluruh aspek kehidupan, orang yang tidak mampu beradaptasi dengan lingkungannya akan gagal dalam menjalani kehidupannya. Manusia diciptakan untuk hidup bersama, bermasyarakat, saling membutuhkan satu sama lain dan selalu berinteraksi, hal ini sesuai dengan konsep sosiologi modern yaitu manusia sebagai makhluk Zoon Politicon.

D.      Manusia dan Agama
Psikologi modern tampaknya memberi porsi yang khusus bagi perilaku keagamaan, walaupun pendekatan psikologis yang digunakan terbatas pada pengalaman empiris. Psikologi agama merupakan salah satu bukti adanya perhatian khusus para ahli psikologi terhadap peran agama dalam kehidupan kejiwaan manusia.[3]
Pendapat yang paling ekstrem pun hal itu masih menunjukkan betapa agama sudah dinilai sebagai bagian dari kehidupan pribadi manusia yang erat kaitannya dengan gejala-gejala psikologi. Secara psikologis, agama adalah ilusi manusia. Manusia lari kepada agama karena rasa ketidakberdayaannya  menghadapi bencana. Dengan demikian, segala bentuk perilaku keagamaan merupakan ciptaan manusia yang timbul dari dorongan agar dirinya terhindar dari bahaya dan dapat memberikan rasa aman.Lain halnya dengan penganut Behaviorisme. Walaupun dalam pembahasannya, Skinner, salah seorang tokoh Behaviorisme tidak menyinggung perilaku keagamaan secara khusus, namun tampaknya sama sekali tak dapat menghindarkan diri dari keterkaitannya dengan kenyataan bahwa agama memiliki institusi dalam kehidupan masyarakat (Jalaluddin, 2010).
Sejalan dengan prinsip teorinya, bahwa Behaviorisme memandang perilaku manusia itu lahir karena adanya stimulant (rangsangan dari luar dirinya) teori Sarbond (gabungan dari stimulant dan respon) yang dikemukakan oleh Behaviorisme tampaknya memang kurang memberi tempat bagi kajian kejiwaan nonfisik. Namun, dalam masalah perilaku keagamaan, sebagai sebuah realitas dalam kehidupan manusia tak mampu ditampik oleh Behaviorisme. Perilaku keagamaan menurut pandangan Behaviorisme erat kaitannya dengan prinsip reinforcement (reward and punishment). Manusia berperilaku agama karena didorong oleh rangsangan hukuman dan hadiah. Menghindarkan hukuman (siksaan) dan mengharapkan hadiah (pahala), lebih jelas membahas perilaku keagamaan adalah psikologi humanistic. Menurut Abraham Maslow, salah seorang pemuka psikologi humanistic yang berusaha memahami esoteric (rohani) manusia. Maslow menyatakan bahwa kebutuhan manusia memliki kebutuhan yang bertingkat dari yang paling dasar hingga kebutuhan yang paling puncak. Pertama,kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan dasar untuk hidup seperti: makan, minum, istirahat, dan sebagainya. Kedua, kebutuhan akan rasa aman yang mendorong orang agar bebas dari rasa takut dan cemas. Ketiga, kebutuhan akan kasih sayang, antara lain berupa pemenuhan hubungan antarmanusia. Keempat, kebutuhan akan harga diri. Kebutuhan ini dimanifestasikan manusia dalam bentuk aktualisasi diri antara lain dengan berbuat sesuatu yang berguna. Pengalaman puncak yang transeden digambarkan sebagai kondisi yang sehat super normal (normal super healty) dan sehat super-super (super-super healty), yang oleh Maslow disebut peakers (transcenderr) dannon-peakers (non-transcenders).
Teori yang dikemukakan Maslow yang disebutnya sebagai pribadi yang lepas dari realitas fisik dan menyatu dengan kekuatan transcendental ini dinilainya sebagai tingkat dari kesempurnaan manusia sebagai pribadi (self). Gambaran tentang kesempurnaan tingkat kepribadian manusia ini agak mirip dengan konsep insan al-kamil, pribadi manusia sempurna yang kembali pada fitrah kesuciannya. Fitrah ini menurut M. Quraish Shihab memiliki ciri-ciri berupa kecenderungan manusia untuk menyenangi yang benar, baik, indah.
Agama tampaknya memang tampak tak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Pengingkaran manusia terhadap agama agaknya dikarenakan factor-faktor tertentu baik yang disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungan masing-masing. Manusia ternyata memiliki unsur batin yang cenderung mendorongnya untuk tunduk kepada Zat yang gaib.
Agama sebagai fitrah manusia telah diinformasikan oleh al-Qur’an:

” فأقم وجهك للدّين حنيفا فطرت الله التي فطر الناس عليها لا تبديل لخلق الله ذلك الدّين القيّم ولكن أكثر الناس لا يعلمون ” (الروم:30)
artinya: maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. (QS 30:30).
Dalam al-Qur’an dan Terjemahnya (Departemen Agama) dijelaskan bahwa fitrah Allah. Maksudnya ciptaan Allah. Manusia dicipatakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu wajar. Mereka tidak beragama tauhid itu hanya lantaran pengaruh lingkungan.
Muhammad As-Shobuny, mentafsirkannya menjadi sikap ikhlas dan tunduk kepada Islam sebagai agama Allah dan menjadikan kecenderungan untuk tunduk kepada agama yang benar, yaitu Islam. dan Allah menjadikan pada diri manusia untuk tunduk pada fitrah tauhid. dalam berbagai sumber, psikologi agama menurut pendekatan Islam telah mengungkapkan hubungan manusia dengan agama.

E.       Gangguan Mental
Gangguan mental dapat dikatakan sebagai perilaku abnormal atau perilaku yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dimasyarakat, perilaku tersebut baik yang berupa pikiran, perasaan maupun tindakan. Stress, depresi dan alkoholik tergolong sebagai gangguan mental karena adanya penyimpangan, hal ini dapat disimpulkan bahwa gangguan mental memiliki titik kunci yaitu menurunnya fungsi mental dan berpengaruhnya pada ketidak wajaran dalam berperilaku (Zakiah Daradjat, 2010).


Adapun gangguan mental yang dijelaskan oleh meliputi beberapa hal :
1.    Salah dalam penyesuaian sosial, orang yang mengalami gangguan mental perilakunya bertentangan dengan kelompok dimana dia ada.
2.    Ketidak bahagiaan secara subyektif
3.    Kegagalan beradaptasi dengan lingkungan
4.    Sebagian penderita gangguan mental menerima pengobatan psikiatris dirumah sakit, namun ada sebagian yang tidak mendapat pengobatan tersebut.
Seseorang yang gagal dalam beradaptasi secara positif dengan lingkungannya dikatakan mengalami gangguan mental. Proses adaptif ini berbeda dengan penyesuaian sosial, karena adaptif lebih aktif dan didasarkan atas kemampuan pribadi sekaligus melihat konteks sosialnya. Atas dasar pengertian ini tentu tidak mudah untuk mengukur ada tidaknya gangguan mental pada seseorang, karena selain harus mengetahui potensi individunya juga harus melihat konteks sosialnya.

F.       Agama dan Kesehatan Mental
Agama tampaknya memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Pengingkaran manusia terhadap agama mungkin karena faktor-faktor tertentu baik yang disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungan masing-masing. Namun untuk menutupi atau meniadakan sama sekali dorongan dan rasa keagamaan kelihatannya sulit dilakukan, hal ini Karena manusia ternyata memiliki unsur batin yang cenderung mendorongnya untuk tunduk kepada Zat yang gaib, ketundukan ini merupakan bagian dari faktor intern manusia dalam psikologi kepribadian dinamakan pribadi (Self) ataupun hati nurani (conscience of man).
Fitrah manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT ialah manusia diciptakan mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka tidak wajar, mereka tidak beragama tauhid itu hanya karena pengaruh lingkungan, seperti yang ada dalam (QS Ar Ruum 30:30)
Artinya: 30. Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui[1168],
 manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan.
Kesehatan mental (mental bygiene) adalah ilmu yang meliputi system tentang prinsip-prinsip, peraturan-peraturan serta prosedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan ruhani.
Dalam ilmu kedokteran dikenal istilah psikosomatik (kejiwabadanan). Dimaksudkan dengan istilah tersebut adalah untuk menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang erat antara jiwa dan badan. istilah “makan hati berulam jantung” merupakan cerminan tentang adanya hubungan antara jiwa dan badan sebagai hubungan timbal balik, jiwa sehat badan segar dan badan sehat jiwa normal.[4]
Sejumlah kasus yang menunjukkan adanya hubungan antara factor keyakinan dan kesehatan jiwa atau mental tampaknya sudah disadari para ilmuwan beberapa abad yang lalu. misalnya, pernyataan Carel Gustay Jung “diantara pasien saya yang setengah baya, tidak seorang pun yang penyebab penyakit kejiwaannya tidak dilatarbelakangi oleh aspek agama”. Prof Dr. Muhammad Mahmud Abd Al-Qadir lebih jauh membahas hubungan antara agama dan kesehatan mental melalui pendekatan teori biokimia. menurutnya, di dalam tubuh manusia terdapat sembilan kelenjar hormon yang memproduksi persenyawaan-persenyawaan kimia yang mempunyai pengarih biokimia tertentu, disalurkan lewat pembuluh darah dan selanjutnya memberi pengaruh kepada eksistensi dan berbagai-bagai kegiatan tubuh.
Lebih jauh Muhammad Mahmud Abd Al-Qadir berkesimpulan bahwa segala bentuk gejala emosi seperti bahagia, rasa dendam, rasa marah, takut, berani, pengecut yang ada dalam diri manusia adalah akibat dari pengaruh persenyawaan-persenyawaan kimia hormon, di samping persenyawaan lainnya. tetapi dalam kenyataannya, kehidupan akal dan emosi manusia senantiasa berubah dari waktu ke waktu. karena itu, selalu terjadi perubahan-perubahan kecil produksi hormon-hormon yang merupakan unsur dasar dari keharmonisan kesadaran dan rasa hati manusia, tepatnya perasaannya.
Jika seseorang berada dalam keadaan normal, seimbang hormon dan kimiawinya, maka ia akan selalu berada dalam keadaan aman. Perubahan yang terjadi dalam kejiwaan itu disebut oleh Abd Al-Qadir sebagai spectrum hidup. Penemuan Muhammad mahmud Abd Al-Qadir seorang ulama dan ahli biokimia ini, setidak-tidaknya memberi bukti akan adanya hubungan antara keyakinan agama dengan kesehatan jiwa. Pengobatan penyakit batin melalui bantuan agama telah banyak dipraktikkan orang. Dengan adanya gerakanChristian Science, kenyataan sepeti itu diperkuat pengakuan ilmiah pula. Dalam gerakan ini dilakukan pengobatan pasien melalui kerja sama antara dokter, psikiater, dan ahli agama (pendeta). Di sini tampak nilai manfaat dari ilmu jiwa agama. Barangkali hubungan antara kejiwaan dan agama dalam kaitannya dengan hubungan antara agama sebagai keyakinan dan kesehatan jiwa, terletak pada sikap penyerahan diri seseorang terhadap suatu kekuasaan Yang Maha Tinggi. Sikap pasrah yang itu diduga akan memberi sikap optimis pada diri seseorang sehingga muncul perasaan positif. Maka, dalam kondisi yang serupa itu manusia berada dalam keadaan tenang dan normal, yang oleh Muhammad Mahmud Abd Al-Qadir, berada dalam keseimbangan persenyawaan kimia dan hormon tubuh. Dengan kata lain, kondisi yang demikian menjadi manusia pada kondisi kodratinya, sesuai dengan fitrah kajadiannya, sehat jasmani, dan ruhani.

G.      Agama sebagai Terapi Kesehatan Mental
Agama sebagai terapi kesehatan mental dalam islam sudah ditunjukkan secara jelas dalam ayat-ayat Al-Quran, di antaranya yang membahas tentang ketenangan dan kebahagiaan adalah (QS An Nahl 16:97)
“Artinya : 97. Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik[839] dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan.”
[839] Ditekankan dalam ayat Ini bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat pahala yang sama dan bahwa amal saleh harus disertai iman.
(QS Ar Ra’ad 13:28)
“Artinya 28. (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.”
Terapi ialah usaha penaggulangan suatu penyakit atau gejalah yang ada dalam diri makhluk hidup.
Bentuk-Bentuk Terapi
terapi bermacam bentuk ada yang secara lisan yaitu dengan diberi norma-norma agama, ada pula berbentuk seperti pijat, dan operasi.
Bentuk kakusutan fungsional ini bertingkat. yaitu psychopath, psychoneurose, dan psikotis. Psychoneurose ditandai bahwa seorang tidak mengikuti tuntutan-tuntutan masyarakat. pengidap psychoneurose menunjukkan perilaku menyimpang. Sedangkan, penderita psikotis dinilai mengalami kekusutan mental yang berbahaya sehingga  memerlukan perawatan khusus.
Usaha penanggulangan kekusutan ruhani atau mental ini sebenarnya dapat dilakukan sejak dini oleh yang bersangkutan. dengan mencari cara yang tepat untuk menyesuaikan diri dengan memilih norma-norma moral, maka kakusutan mental akan terselesaikan.
Penyelesaian dengan memilih penyesuaian diri dengan norma-norma moral yang luhur seperti bekerja dengan jujur, resignasi, sublimasi, kompensasi. dalam konteks ini terlihat hubungan agama sebagai terapi kekusutan mental. Sebab, nilai-nilai luhur termuat dalam ajaran agama bagaimanapun dapat digunakan untuk penyesuaian dan pengendalian diri, hingga terhindar dari konflik batin.
Pendekatan terapi keagamaan ini dapat dirujuk dari informasi al-Qur’an sendiri sebagai kitab suci. Diantara konsep terapi gangguan mental ini adalah pernyataan Allah: dalam surat Yunus dan surat Isra’.
” يأيها الناس قد جاءتكم موعظة من ربكم وشفاء لما في الصدور وهدى ورحمة للعالمين ” (يونس:57).
” وننزل من القرءان ماهو شفاء ورحمة للمؤمنين ولا يزيد الظالمين إلا خسارا ” (الإسراء:82).
artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya sudah datang dari Tuhanmu al-Qur’an yang mengandung pengajaran, penawar bagi penyakit batin (jiwa), tuntunan serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS Yunus: 57).
“Dan kami turunkan al-Qur’an yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS Isra’: 82).
Kesehatan mental adalah suatu kondisi batin yang senantiasa berada dalam keadaan tenang, aman, dan tenteram. Upaya untuk menemukan ketenangan batin dapat dilakukan antara lain melalui penyesuaian diri secara resignasi (penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan). Dalam al-Qur’an petunjuk mengenai penyerahan diri cukup banyak.

H.      Musibah
Musibah merupakan pengalaman yang dirasakan tidak menyenangkan karena dianggap merugikan oleh korban yang terkena musibah. Berdasarkan asal katanya, musibah berarti lemparan yang kamudian digunakan dalam makna bahaya, celaka, atau bencana dan bala. menurut Al-Qurtubi, musibah adalah apa saja yang menyakiti dan menimpa pada diri seorang, atau sesuatu yang berbahaya dan menyusahkan manusia, betapapun kacilnya. Musibah dapat menimbulkan penderitaan maupun kesengsaraan bagi korbannya. Terkadang berlangsung dalam waktu yang panjang, atau bahkan seumur hidup. Oleh karena itu, setiap orang berusaha untuk menghindar diri dari kemungkinan tertimpa musibah.[5]
1.    Sebab terjadinya Musibah
Penyebab terjadinya musibah bermacam-macam. ada yang disebabkan oleh perbuatan manusia secara langsung, ataupun penglolaan alam yang keliru, serta yang murni disebabkan oleh alam.
2.    Macam-Macam Musibah
Dari pendekatan agama, musibah dapat dibagi menjadi dua macam.
·      Musibah yang terjadi sebagai akibat dari ulah tangan manusia. Karena kesalahan yang dilakukannya, manusia harus menanggung akibat buruk dari perbuatannya sendiri. Musibah ini dikenal sebagai hukum karma, yakni sebagai “pembalasan”.
·      Musibah sebagai ujian dari Tuhan. Musibah ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan perbuatan keliru manusia. Betapapun baik dan bermanfaatnya aktivitas yang dilakukan manusia, serta taatnya mereka menjalankan perintah Tuhan, musibah yang seperti ini bakal mereka alami juga. Oleh karena itu, musibah ini sering dihubung-hubungkan dengan takdir (ketentuan Tuhan).
Erich Fromm, mencoba menganalisis melalui pendekatan psikologi. Menurutnya derita yang dialami korban musibah disebabkan adanya rasa kedekatan. Seseorang yang merasa dekat dengan sesuatu, akan merasa kehilangan bila berpisah dengan sesuatu atau orang yang ia merasa dekat dengannya. rasa kedekatan yang mendalam, berubah menjadi rasa cinta. Kesedihan dan derita yang dirasakan seseorang, sebanding dengan tingkat kecintaannya kepada sesuatu. Semakin tinggi dan mendalam rasa cintanya, maka akan semakin berat derita yang dialami, bila seseorang kahilangan yang ia cintai itu. Sebaliknya, dalam pendekatan keagamaan, kesedihan yang ditimbulkan oleh musibah terkait dengan rasa memiliki.
Terkadang secara tak sadar, manusia menganggap, bahwa segala yang ia miliki, sepenuhnya diperoleh dari hasil kerja kerasnya. Adakalanya pula perasaan memiliki ini mencakup kawasan yang lebih luas. Tidak hanya sekadar kepemilikan bendawi, tetapi juga pribadi-pribadi tertentu. Suami terhadap Istri dan sebaliknya, atau orang tua terhadap anak dan anak juga terhadap orang tuanya. Saat ditimpa musibah, manusia terpaksa harus kahilangan sebagian atau seluruh yang ia miliki. Makin besar nilai kepemilikan yang hilang, akan semakin berat derita yang dirasakannya. Musibah memang membawa derita bagi korbannya. Derita fisik maupun batin. berdasarkan pendekatan psikosomatik, sebenarnya derita fisik dan derit batin tidak dapat dipisahkan. Keduanya akan saling mempengaruhi. Namun dalam kenyataannya, derita batin lebih mendominasi karena ia langsung berhubungan dengan perasaan.
Menurut pendekatan psikologi agama, sebenarnya derita yang dialami oleh korban musibah terkait dengan tingkat keberagamaan. Bagi mereka yang memiliki keyakinan yang mendalam terhadap nilai-nilai ajaran agama, bagaimanapun akan lebih mudah dan cepat menguasai gejolak batinnya. Agama menjadi pilihan dan rujukan untuk mengatasi konflik yang terjadi pada dirinya. Di kala musibah manimbulkan rasa kehilangan dari apa yang dimilikinya selama ini, hatinya akan dibimbing oleh nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agamanya. Manusia pada dasarnya memang bukan pemilik mutlak. Apa saja yang ia miliki, termasuk tubuh dan nyawa, hakikatnya adalah kepunyaan Allah. Sebagai pemilik mutlak, Tuhan menganugrahkan kepada manusia nikmat-Nya berupa kehidupan ataupun kekayaan. Statusnya hanya sebagai titipan amanah. Dalam menjalani kehidupannya manusia senantiasa berada dalam sebuah arena ujian yang sarat dengan berbagai cobaan.
Salah satu fungsi agama dalam kehidupan manusia, menurut Elizabeth K. Nottingham, adalah sebagai penyelamat. Dalam kondisi ketidakberdayaan, secara psikologis nilai-nilai ajaran agama dapat membantu meneteramkan goncangan batin. Dengan kembali kepada tuntunan agama, korban berusaha menyadarkan dirinya, bahwa musibah merupakan resiko yang harus dihadapi dalam menjalani kehidupan lebih dari itu ia menjadi sadar bahwa ia bukan pemilik mutlak dari segala yang menjadi miliknya. Keluarga, kerabat, bahkan dirinya adalah milik sang pencipta. Semua miliknya hanyalah titipan yang sewaktu-waktu akan diambil oleh sang pemilik mutlak.
Ditengah-tengah kegoncangan batin korban dapat pula menelusuri hikmah atau nilai-nilai positif yang terkandung didalamnya. Apakah musibah yang dialaminya sebagai balasan (I’tibar) ataukah ujian (ikhtibar). Bila derita yang dialaminya merupakan balasan dari perbuatan yang pernah dilakukannya, maka musibah akan menyadarkannya akan kesalahan masa lalu. Tak diragukan lagi, sebagian besar musibah dan bencana itu terjadi akibat ulah manusia sendiri. Al-Qur’an menyatakan:“Dan apa saja yang usibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan perbuatan tanganmu sendiri.” (Mubsin Qiraati, 2001:93) Tuntunan ini,
setidaknya akan membawanya kepada kesadaran untuk memperbaiki diri.Sebaliknya bila deritanya dianggapnya sebagai ujian, maka ia akan berusaha untuk bersabar. Menerima dengan sabar dan tulus,hingga derita yang berat akan terasa ringan. Perasaan batinnya diredakan oleh keyakinan, bahwa musibah yang dialaminya merupakan bagian dari ketentuan dan takdir dari Tuhan.
Dalam menghadapi musibah, orang-orang memiliki keyakinan agama terlihat lebih tabah. Mereka lebih mudah menetralisasi kegoncangan dan konflik yang terjadi dalam batinnya. Keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan dijadikan sebagai pilihan tempat berlindung atau penyalur derita yang dirasakan. dalam keadaan yang demikian, Tuhan dianggap sebagai satu-satunya “penolong” atau “juru selamat” yang mampu meredam penderitaan yang mereka alami.
Sebaliknya orang-orang yang memiliki tingkat keyakinan agama yang kurang, ataupun tidak memiliki keyakinan agama sama sekali, terkesan sulit menetralisasi kegoncangan jiwanya. Sulit menemukan jalan keluar, mudah gelap mata, dan akhirnya mengambil jalan pintas. Tak jarang korban yang merasa begitu terhempit oleh derita itu mangakhiri hidupnya dengan bunuh  diri. Kemampuan menahan derita dalam menghadapi masalah musibah, tampaknya tidak ada hubungan dengan latar belakang pendidikan.
Keyakinan terhadap tuhan, akan memberikan rasa damai dalam batin. Kedamaian dalam keselamatan merupakan bagian dari insting mempertahankan diri yang ada dalam diri manusia. Oleh karena itu kembali kepada Tuhan dengan memohon perlindungan, merupakan saluran yang sejalan dengan dorongan instingtif manusia. Kecenderungan terhadap pertolongan ini tersirat dalam do’a. Menurut William James, seluruh do’a dalam agama memuat kalimat yang berisi permohonan perlindungan kepada Tuhan. Demikian pula mantera-mantera yang ditemui di lingkungan masyarakat primitif, juga tak lepas dari kecenderungan serupa, yakni kepada sesuatu yang dianggap sebagai “ penguasa alam”, atau yang menentukan nasib manusia.


BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari keluhan dan gangguan mental baik berupa neurosis maupun psikosis (penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial) Orang yang sehat mental akan senantiasa merasa aman dan bahagia dalam kondisi apapun, ia juga akan melakukan intropeksi atas segala hal yang dilakukannya sehingga ia akan mampu mengontrol dan mengendalikan dirinya sendiri.
Agama tampaknya memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Pengingkaran manusia terhadap agama mungkin karena faktor-faktor tertentu baik yang disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungan masing-masing. Fitrah manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT ialah manusia diciptakan mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka tidak wajar, mereka tidak beragama tauhid itu hanya karena pengaruh lingkungan
Hubungan antara kejiwaan dan agama dalam kaitannya dengan hubungan antara keyakinan dan kesehatan jiwa terletak pada sikap penyerahan diri seseorang terhadap suatu kekuasaan yang maha tinggi sehingga akan dapat memunculkan perasaan positif pada kesehatan mental seseorang.
Pemakalah menyadari dalam proses pembuatan dan penyampaian makalah terdapat banyak kesalahan dan kekhilafan, pemakalah sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk pemakalah guna mengingatkan dan memperbaiki setiap kesalahan yang ada dalam proses pembuatan dan penyampaian makalah. Terakhir tidak lupa pemakalah mengucapkan rasa syukur kehadirat Allah SWT serta terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu dalam proses pembuatan makalah.






DAFTAR PUSTAKA

Daradjat  Zakiah. 2010. Ilmu Jiwa Agama.  Jakarta : Bulan Bintang
Daradjat Zakiah . 1995. Kesehatan Mental. Jakarta : Gunung Agung
Jalaluddin. 2002. Psikologi Agama. Jakarta : Raja Grafindo Persada
Jalaluddin. 2010. Psikologi Agama. Jakarta : Rajawali Pers.
Kartini Kartono. 2000. Hygiene Mental. Jakarta : Bandar Maju
Ramayulis . 2002. Pengantar Psikologi Agama. Jakarta : Kalam Mulia








[1] Ramayulis . Pengantar Psikologi Agama. Kalam Mulia. 2002. Hlm 154
[2] Zakiah Daradjat . Kesehatan Mental. Gunung Agung. 1995. Hlm 13
[3] Jalaluddin. Psikologi Agama. Rajawali. 2010. Hlm.155
[4] Zakiah Daradjat. Ilmu  Jiwa Agama. Bulan Bintang. 2010. Hlm 37
[5] Jalaluddin.  Psikologi Agama. Rajawali Pers. 2010. Hlm 180


Tidak ada komentar:

Posting Komentar